Bagian 18 ; Mencoba Menarik Hati

11.8K 733 38
                                    

Aku berlari ketika Pak Bagas keluar dari dalam mobilnya. Dengan napas yang terengah-engah aku memasang senyum saat tiba di hadapan Pak Bagas. Pokoknya aku sudah harus tiba di depan pintu masuk kantor sebelum Pak Bagas sampai. Hal lari-larian seperti itu sudah sering terjadi.

"Selamat pagi, Pak."

"Mulai besok enggak usah lari segala. Nih, kamu jadi keringetan begini," kata Pak Bagas, tiba-tiba mengelap keningku yang terdapat bulir keringat dengan tangannya. Aku bingung dan terkejut dengan perlakuan Pak Bagas yang tiba-tiba. Ini pertama kalinya Pak Bagas seperti itu, biasanya dia bodo amat kalau aku lari-larian, dan berkeringat.

Pak Bagas jalan lebih dulu, dengan aku yang mengikutinya di belakang. Menatap heran punggung Pak Bagas. Yasudahlah, enggak usah dipikirin, mungkin pagi ini suasana hati Pak Bagas sedang baik.

"Selamat pagi, Pak," sapa seorang pegawai perempuan sambil tersenyum ke Pak Bagas. Lalu, yang bikin aku heran dan terkejut adalah Pak Bagas membalas senyuman pegawai itu. Membuat sang perempuan bereaksi sepertiku, heran dan terkejut.

Ada apa dengan Pak Bagas? kelihatan bahagia banget.

Ketika sampai di ruangannya Pak Bagas, begitupun denganku yang mengikutinya, Pak Bagas membalikkan tubuhnya, membuat aku spontan berhenti. Beberapa detik berlalu, tapi Pak Bagas hanya diam saja, membuatku kebingungan.

Pak Bagas menghela napas panjang. "Dasi saya, Rena."

Secara refleks aku melihat dasi yang terpasang di kerah kemeja Pak Bagas. Sedikit miring. Aku baru sadar, dengan cepat aku lebih mendekat ke Pak Bagas.

Jantungku seperti mencelos ke bawah ketika melirik ke atas, melihat wajah Pak Bagas yang tengah tersenyum manis, menampilkan lesung pipinya.

Itu senyuman atau gula, sih?! manis banget!

Aku berdehem sambil mundur selangkah. "Kalo gitu saya ke meja dulu, Pak." Setelah selesai membenarkan dasi Pak Bagas, aku undur diri untuk kembali ke meja kerjaku---yang di mana berada di luar ruangan Pak Bagas.

"Kalo Pak Bagas terus-terusan bersikap manis kayak tadi, bisa-bisa aku---" Arrggh! Enggak boleh!

Seketika aku mengangkat kepala yang sebelumnya aku tidurkan di atas meja ketika ponselku berdering, menandakan ada seseorang yang menelepon. Tertera di layar ponsel nama seorang pria yang sedang dekat denganku. Andra.

"Iya, Ndra?"

"Maaf, Rena, kalo pagi-pagi udah nelpon kamu."

"Enggak usah minta maaf, kamu enggak salah. Lagipun saya lagi enggak sibuk."

"Langsung ke intinya aja, ya. Soalnya sebentar lagi saya masuk ke kelas. Jadi gini, Ren, saya pengin ngajak kamu makan malam. Lebih tepatnya nanti malam, gimana? Kamu bisa?"

Tunggu dulu, Andra ngajak aku makan malam? Mungkin bisa juga diartikan ... kencan?

"Iya, saya mau---eh, maksudnya bisa."

"Oke, nanti malam kamu saya jemput di tempat kerja kamu, ya."

"Iya."

***

Makan siang.

Aku langsung menarik kursi dan duduk. Tidak lama kemudian, Pak Bagas datang dan langsung duduk berhadapan denganku. Aku hanya melirik Pak Bagas, setelah itu aku lanjut makan lagi.

"Makan yang banyak," celetuk Pak Bagas sembari mengasih lauknya ke aku. Aku hanya diam saja, menikmati menu makan siang.

"Rena, setelah pulang kantor kamu ada acara?" tanya Pak Bagas setelah sekian menit terdiam.

"Ada," jawabku singkat dan jujur.

"Oh." Pak Bagas hanya manggut-manggut mengerti. Aku terheran, biasanya kalau ada apa-apa Pak Bagas selalu memaksa kehendaknya, tapi kali ini Pak Bagas bereaksi seperti itu. Itu bukan Pak Bagas banget!

"Memangnya ada apa, Pak?" tanyaku penasaran.

"Enggak ada apa-apa, sih, Cuma niatnya saya pengin ngajak kamu malam malam. Tapi, kamu udah ada janji, yaudahlah. Saya enggak bisa maksa," jelas Pak Bagas membuatku menganga.

BAPAK HARI INI KENAPA, SIH?!

Ini bukan Pak Bagas. Bagas Aditama yang aku kenal itu, suka memaksa, tapi kali ini, Pak Bagas tidak memaksa kemauannya. Sepertinya ada yang salah dengan Pak Bagas. Aku mengangkat tangan dan menaruh punggung tanganku di kening Pak Bagas, memeriksa suhu tubuhnya. Siapa tahu aja Pak Bagas masih demam, tapi tidak, suhu tubuhnya sudah normal.

"Saya udah sehat, jadi kamu enggak perlu khawatir lagi."

"Iya, Pak Bagas udah sehat, tapi ... Bapak kenapa, sih hari ini?! Saya bisa gila kalau Pak Bagas tiba-tiba berubah kayak gini!" entah kenapa aku jadi emosi.

"Maksudnya?" tanyanya.

"Ya ... Bapak hari ini sedikit ... perhatian? Pokoknya Pak Bagas hari ini beda banget! Bukan Pak Bagas banget deh!" kataku. Pak Bagas malah tertawa kecil sehingga lesung pipinya terlihat. Astaga, jantungku!

"Memangnya saya enggak boleh perhatian sama calon istri sendiri?" tanya Pak Bagas sambil menampilkan senyumnya.

Tunggu.

CALON ISTRI?!

"Ca--calon istri? Sa--saya?" aku sampai tergagap karena terlalu syok.

"Iya kamu, Renata, calon istri saya."

"Mending Pak Bagas ke rumah sakit sana, kayaknya ada yang salah dengan Bapak," saranku. Baru saja ingin bangkit dari duduk, suara Pak Bagas sudah terlebih dulu terdengar. Membuatku mengurungkan niat untuk pergi.

"Tunggu, Rena. Saya belum selesai bicara."

"Apa lagi, Pak?" tanyaku tidak sabar.

"Oke, mungkin kamu sedikit terkejut dengan sikap saya yang tiba-tiba berubah. Itu semua saya lakukan buat kamu. Saya ingin lebih dekat dengan kamu. Maksudnya antara pria dan wanita, hubungan yang lebih serius. Bukan antara bos dan sekretaris," ujar Pak Bagas.

"Kamu bekerja dengan saya bukan Satu atau Dua bulan, tapi beberapa tahun. Jadi, apa salahnya jika kita punya hubungan yang lebih serius? Lagipun saya juga udah pusing dengan Bunda saya yang terus meminta saya menikah," lanjutnya. "Makanya itu, saya bertekad menjadikan kamu istri saya. Jadi, mulai sekarang jangan kaget kalau saya tiba-tiba bersikap manis sama kamu. Itu tandanya, saya sedang mencoba menarik hati kamu."

Aku enggak tahu harus bereaksi seperti apa. Aku terlalu bingung. Apalagi kalimat "Lagipun saya juga udah pusing dengan Bunda saya yang terus meminta saya menikah" kesannya seperti terpaksa. Seperti tidak ada wanita lain saja.

"Saya serius, Renata! Bukan karena tekanan Bunda saya, dan saya putus asa lalu memilih kamu menjadi istri saya. Bukan seperti itu, " Kata Pak Bagas.

The Boss and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang