"Cukup! Hafsah! Cukup!! Jangan mengingat masa lalu itu lagi. Maafii qalbi ghairullah... Maafi qalbi ghairullah... Tiada di hatiku melainkan Allah.... Hhhhuuuff.. Tenang..., " aku berdiri di depan cermin. Menatap wajahku.
Begitulah aku. Jika gugup, cemas, atau berusaha menenangkan diri sendiri. Pasti berbicara pada sosokku di sana. Aneh memang. Tapi itu menenangkan.
Segera kusabet qur'an diatas meja belajar. Kumasukkan ke dalam tas. Kutatap cermin lagi, memastikan kerudung ku tak menampakkan sehelai pun rambutku.
Oke.
Cadar?
Rapi?
Sudah. Yes, beres.
Aku bergegas menuju pintu depan. Menatap sekitar. Hanya ada sedikit santri berlalu lalang. Tentu saja, jam pelajaran para santri sudah dimulai.
Aku berjalan menyusuri gang yang menghubungkan ruanganku dengan rumah Aliyah. Sekitar 20 meter kemudian ada masjid santri Putri. Ya, aku sedang berada di lingkungan pondok putri.
Aliyah bukan saudara kandungku, lebih tepatnya ia anak ustadz yang masih saudara. Bisa dibilang saudara sepupu.
Lalu kenapa aku bisa serumah dengan sepupuku?. Aku yang meminta kepada keluargaku untuk belajar agama lebih dalam, melancarkan qur'an dan akhirnya berakhir pada salah seorang keluargaku yang mengabdi pada pondok ini. Aku sendiri yang meminta dibuatkan ruangan khusus untukku. Bukannya egois. Tapi, ada saatnya aku butuh tempat bertapa untuk Sang Pencipta.
Kulirik jam tanganku, pukul 07.30. Dalam waktu 30 menit aku harus sudah sampai di kampus. Kupercepat langkah kakiku.
Bbuukk..
Kertas kertas yang dibawa orang itu berserakan. Beberapa terbang agak menjauh dari tempatnya jatuh.
Seseorang menabrakku. Atau aku yang menabraknya? Dduhh... Acara apalagi ini.
"Afwan mbak, "suara lelaki
Ohh tidak! Jangan berurusan dengan laki laki. Aku tidak mau! , teriakku dalam hati.
Doraemon teleport aku sekarang juga!
Aku gugup tak tau harus bagaimana. Membantu? Oh jangan.. Aku tak mau secara tak sengaja menyentuhnya. Lantas? Aku mengambil beberapa kertas yang ada di depan, kanan, kiriku saja. Sebatas yang bisa kujangkau. Kertas yang melayang 3 meter dari kami, ia yang mengambil. Dan aku terdiam mengumpulkan kertas. Menatap langkah kakinya mengejar kertas yang agak bandel untuk di pegang.
Aku harus bergegas, batinku.
Ehh.. Bagaimana aku memberikan kertas ini?, aku panik.
Pakai black hole? Ah jangan, nanti dia tersedot!
Aku berpikir apa juga!
Dia berdiri. Menghampiriku. Tanpa berucap maaf atau basa basi. Kusodorkan kertas yang kukumpulkan dengan menundukkan kepala sedalam dalamnya.
Ia menerimanya.
"ee... Mba--"
Sedetik kemudian aku kabur dari tempat itu. Meninggalkan dia yang ingin berucap. Ah, tak peduli. Aku pergi tidak dengan lari, tapi mempercepat langkah 4 kali lipat dari yang tadi.
Terlalu cepat? Baiklah. Aku memperpelan langkah menjadi 2 kalinya. Menjaga image seorang muslimah.
Astagfirullah.. Astagfirullah..
Ribuan istigfar kuucap perlahan. Menenangkan hati sekaligus berdzikir.
Eh tapi siapa dia? Kenapa ada dilingkungan pondok?, aku jadi penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inshaa Allah [END ✔️]
RomanceAdakah rasa penyesalan yang lebih besar dari salah mengkhitbah? atau berada pada cinta yang salah. sebuah kesabaran dan ketabahan yang diuji dalam kehidupan. "Menantimu di ujung do'a. Entah bagaimanapun akhirnya, Tuhan selalu punya rencana untuk ki...