Air hujan yang jatuh menampar jendela itu mengalir ke bawah dengan pelan. Menyisakan jalur jalur air tersorot lampu perkotaan dari luar jendela rumah sakit.
Hafsah menatap kosong ribuan lampu kerlap kerlip bagai kunang di malam hari. Ia memang pilu, tapi ia masih punya Allah.
Masih beruntung Allah tak meninggalkannya. Allah mencintainya dengan cobaan dariNya.
Hafsah menggeser tempat duduknya di atas ranjang, menunduk menatap kedua kakinya terbalut kaos kaki biru terang hampir senada dengan rok biru dongkernya.
"aku harus apa ya Allah... " ia menangkupkan kedua tangannya ke wajah.
Ia tidak menangis.
Rasa sakit dan sesak menahan air matanya.
Tubuhnya bergetar, ia hampir limbung dalam kebingungan.
Perlahan kakinya turun menyentuh keramik dan ia melangkah pergi dari ruangan itu tanpa sepengetahuan sahabatnya Nata.
Entah ia harus pergi kemana, ia merasa ingin keluar saja.
Walau di luar rumah sakit sedikit gerimis. Tapi jauh di lubuk hatinya hujan menderas.
Sorot lampu jalan di taman di hari petang samar samar. Gerimis hanya menyisakan embun embun yang lembut menyentuh kulit. Bisa jadi kau tak sadar bahwa sedang hujan saat itu.
Hafsah beruntung menemukan tempat sunyi dan tenang lalu duduk di bangku yang beku. Dingin maksudku.
Dia mengukir senyum kaku melihat sekeliling. Ia teringat sang ibu. Ia rindu. Ia ingin pulang. Memeluk sang ibu lalu menangis dan menceritakan keluh kesahnya.
Tapi, dia wanita yang terlalu kuat untuk menanggung semua itu sendiri. Dia lebih memilih memendam dan mendinginkan kepalanya sendiri untuk mencari solusi.
"Hafsah..?" suara berat terdengar khas di telinga Hafsah. Ia menurunkan senyumnya tadi.
Ia kenal sekali dengan suara itu. Sangat kenal walau sudah lama tak berjumpa.
Jangan remehkan ingatan wanita jika dia sudah jatuh cinta.
Tidak. Hafsah jatuh dalam bencana secara tiba tiba dengan apa yang namanya cinta.
Sekarang ia tak peduli itu semua.
Ia tak menoleh ke sumber suara dan malah diam melamun saja. Langkah kaki mulai mendekat ke arahnya. Kini ia melirik siapa yang datang.
Ternyata benar dugaannya.
Mas Adam menghampirinya.
Terpaut jarah 3 meter darinya. Hafsah berkata "Berhenti disitu! "
Kata katanya lugas dan tegas. Berbeda dengan kondisi hatinya.
"aku.. Aku minta maaf...aku ceroboh, " mas Adam maju selangkah.
"KUBILANG BERHENTI DISITU! " aku mengeraskan suaraku. Aku tidak ingin menjadi wanita kasar. Tapi tubuhku bergerak sendiri. Aku hampir tak bisa mengendalikan semua ini.
"Hafsah... "
Nada mas Adam seolah memohon. Aku tak peduli.
Aku mengeratkan kepalan tanganku dan berdiri memunggunginya.
Bagaimana dia bisa lupa denganku begitu saja?! Bagaimana dia bisa....
Aarghh!
Aku menjerit dalam hati.
"aku mau membatalkan pengkhitbahan ku dengan Aliyah, " dia mengatakan itu.
Eh?
Dia mau membatalkan itu?
Aku senang?
Tentu saja tidak. Bodohnya aku!
Aku shock mendengar itu. Lalu 2 detik kemudian aku menegakkan punggungku.
"apa maksudmu?" tanyaku
Dia berdehem sebentar.
"sebelum acara ijab di mulai, masih ada kesempatan untuk membatalkan pengkhitbahan selama proses ta'aruf Hafsah... "dia menjelaskan begitu padaku.
Aku tau itu.
Dan apa reaksiku?
"kau mau membatalkannya? " tanyaku sekali lagi
"iya"
Aku menghela nafas kasar.
"kau lelaki pengecut! "
Aku berbalik menatapnya dengan tatapan datarku. Sekarang aku tidak tau apa yang kurasakan. Kosong.
Dia terlihat kaget dengan ucapanku.
"Aliyah baik untukmu.. Menikahlah.. Lelaki baik tak akan menarik kata kata dan keteguhannya. Dia wanita sholehah. Mungkin memang.. "
Aku menghentikan kata kataku.
"kau belum di takdirkan Tuhan untukku.. "
"Hafsah.. Aku.. Aku.. Minta maaf... " dia bergetar. Aku tak tau dia sedamg merasa apa, tapi kutebak dia gelisah bingung dan hampir tak tau arah.
"tak perlu minta maaf. Kau tak bersalah. Terima kasih untuk segalanya. Untuk segala rasa yang pernah ada. Walau mungkin kita tak ditakdirkan bersama, kita masih tetap berada di bumi yang sama.," Hafsah mengakhiri kalimatnya lalu berjalan ke arah lelaki yang berdiri itu.
Pandangannya lurus tanpa menatap langsung ke arah mas Adam.
Kini aku melewati mas Adam begitu saja.
Apa yang bisa kukatakan lagi, padahal kesedihan telah mengubah tatapanku. Cintaku telah terpasang dalam penglihatanku, mataku, hatiku, pikiranku. Cinta merupakan kesedihan bagiku......
-Hafsah-Aku melangkahkan kakiku pulang menuju rumahku. Tempat dimana ada ayah dan ibuku. Aku rindu mereka. Aku baru sadar bahwa apakah aku sudah cukup berbakti kepada keduanya?
Belum.
Semua itu belum cukup dan aku sudah terjatuh begitu dalam atas nama budak cinta.
Aku tak selemah itu.
Aku Hafsah, wanita yang tegar dan elegan. Harus bersikap anggun tanpa menyinggung orang lain sedikitpun.
Karakterku, kepribadianku.. Aku harus menata kembali dari awal.
Aku adalah wanita.
Bukan budak cinta.
Allah cintaku.
Rasulullah pun juga begitu.
Tak pantas aku bersedih larut hanya karena salah khitbah atas penantian, juga hanya karena makhluk dari hambanya lalu aku merasa lemah?
Tidak.
Allah mengujiku apakah aku benar benar mencintaiNya?
Aku tersenyum getir.
Meninggalkan mas Adam yang berdiri kaku entah memikirkan apa itu.
Gerimis lembut dan sorot lampu taman yang samar menjadi saksi bisu atas perjalananku.
Sebagai..
Pengelana wanita..
-----------
Jeng jeng jengg....
Hulaa.. Terima kasih sekali untuk pembaca yang sudah berkenan hati mengikuti sampai sejauh ini.
^ω^
Hehe..
Jadi, 1 part lagi semua kelar lar lar...
Dan ya sudahlah haha.
Makasi ya semua, tanpa para pembaca penulis bukanlah apa apa.
Jadi kalian sangat begitu berarti bagiku. Eaaakk..
Kalo Ngadain giveaway ada yang mau ikut gak ya? Dengan hadiah pulsa hehe
Komen yak dan jangan lupa beri aku bintang
KAMU SEDANG MEMBACA
Inshaa Allah [END ✔️]
RomanceAdakah rasa penyesalan yang lebih besar dari salah mengkhitbah? atau berada pada cinta yang salah. sebuah kesabaran dan ketabahan yang diuji dalam kehidupan. "Menantimu di ujung do'a. Entah bagaimanapun akhirnya, Tuhan selalu punya rencana untuk ki...