Paper 25

1.5K 124 78
                                    

Cinta adalah asal mula. Menjadi awal dari segala rasa. Dan akan selalu abadi di tempatnya.

.
.
.

Perjalanan waktu yang tak berujung membawa raga masuk ke dalam dimensi kehancuran. Di alam yang tidak lagi berpihak, ia menetapkan pikiran. Sekalipun kelak maut menjemputnya, ia ingin orang yang di sana mendengar lagu di dalam saku. Dengan keterbatasan, wanita ini mengingat nada yang mengalun. Menjadikan penggalan bait sebagai ingatan di masa depan. Berharap jika raga mendapat kesempatan, maka ia tidak akan lupa. Dan ketika pada akhirnya sang bibir ingin mengatakan selamat tinggal hari-hari, ia kembali merasa waktu telah berubah. Begitu lama, kemarin dan sebelumnya semua seperti bukan cerita di masa lalu.

Sepasang mata itu menatap datar kejauhan. Ia telah memberikan apa yang ia miliki.
Dan pada saat yang salah, hati yang terluka kembali ditikam, hingga hancur dan tak lagi berbentuk. Puing-puing yang berserakan bagai ledakan bom. Meninggalkan serpihan tajam yang sewaktu-waktu dapat melukai kulit. Bukankah pria itu mencintainya? Kadang-kadang ia merasa ragu. Namun apa yang ada di hatinya tidak berubah. Wanita ini tidak ingin memiliki pikiran sedih, tapi perasaan itu pasti datang. Ketika kelak mereka menyanyikan lagu yang sama, ia berharap akan menemukan kebahagiaan yang tersembunyi.

Hujan mungkin adalah sahabat yang Tuhan kirimkan untuk menemani sepi. Ada banyak pertentangan ketika manik membentur kepercayaan yang pudar. Sekalipun bibir itu tersenyum, hati tetap menyimpan duka di balik kebohongan. Wanita ini menghela nafasnya lelah. Lalu memandang sendu pigura dalam kotak kayu usang. Persegi manis yang menjadi hadiah ulang tahunnya. Pita merah yang menyelebungi membuat ukiran hati tidak terlihat. Hanya pinggiran gerigi yang dapat lensa tangkap demi memperlihatkan keawetan yang terjaga.

Dua puluh tahun berlalu, benda yang tersimpan tidak sama sekali terusik. Kalung berbandul malaikat itu tetap tersimpan rapi dengan warna emas yang terjaga. Kotak-kotak kayu menyembunyikannya dari para bajingan di luar sana. Benar apa yang dikatakan pria itu, jika kolong gelap selalu menjadi tempat persembunyian terbaik. Sepucuk surat yang terselip membuat air mata jatuh begitu saja. Soeun mengusap pipinya. Nyatanya, Joon meninggalkan kenangan indah yang tidak pernah mampu ia lupakan.

Kenapa harus Joon yang pergi? Kenapa ia harus hidup? Kenapa Tuhan tidak menjemputnya saja. Setidaknya keluarga ini tidak akan membencinya. Minjae tidak akan membuangnya. Hanna tidak akan mengutuknya. Dan Gyuri tidak akan pernah ada. Setidaknya dengan begitu ia tidak akan merasakan sakit ini. Meski kemungkinan bertemu Kimbum tidak ada, namun Soeun tidak akan merasakan pilu disepanjang hidupnya. Ia akan berlari di tengah padang bunga tanpa mengenakan alas kaki. Menemani Joon yang tidak pernah meninggalkannya seorang diri. Bukan di tempat ini, dimana kehadirannya tidak diharapkan.

"Menjijikkan!! Kenapa kau masih saja hidup?! Apa kau tidak memiliki pikiran?!"

Lelah.
Itulah yang ia rasakan. Soeun memejamkan matanya mendengar bantingan pada pintu. Hanna memang iblis, dan ia benci mengakui wanita itu sebagai ibunya. Hari-hari berlalu begitu saja, dan di setiap detik wanita itu mencaci maki dirinya. Soeun tidak perduli apapun yang Hanna katakan. Makian yang mendera sang telinga pun tidak mempengaruhi cara berpikirnya. Hanya saja Soeun muak. Ia terkurung di ruang persegi tanpa bisa menapaki lantai. Hanna memperlakukannya layaknya seorang tahanan.

"Mati?" Mengalihkan pandangannya, Soeun menatap Hanna terluka. "Maut hanya akan menjemput ketika Kimbum di sisiku."

Mungkin memang benar kebencian mampu menenggelamkan rasa hormat. Rasa sakit yang membesar seiring berjalannya waktu membangun dinding-dinding kemurkaan. Hingga membuat sosok yang penuh kelembutan dapat berpikir picik dihadapan wanita yang melahirkannya. Tidak perduli wanita yang berdiri tiga langkah darinya itu mengerang dengan marah. Air mata yang mengalir, kering bersamaan dengan pergantian rasa. Logika itu kalah oleh rasa marah. Si hati bersembunyi dan memilih diam menyaksikan perdebatan. Detik yang berdetak sesekali menjadi penonton bersama hembusan angin.

Conqeror Chocolate (Completed) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang