8- Rasa

4.5K 554 54
                                    

"Menjadi hujan? Tak pernah lelah meski berkali-kali jatuh. Kurasa, itu bukanlah aku."

***

"Re, gue rasa Davka naksir lo, deh."

"Ha?" Rhea sontak menghentikan aktivitas menyantap baksonya. Gadis itu tertawa hambar. Tersedak, kemudian menghambiskan setengah es teh yang ia pesan.

"Ngaco lo," tanggap Rhea atas argumen Devi.

Devi melempar pandang ke arah Raya. Keduanya saling pandang sebelum terkekeh mendengar tanggapan Rhea.

"Coba kalo main nalar, siapa sih yang nggak suka sama cewek model kek lo?" Kini Raya yang bersuara. Gadis beriris cokelat itu menatap dalam sepasang mata Rhea. Namun, Rhea memutus kontak mata itu.

"Oke, gue tahu kalo emang banyak yang naksir gue. Tapi gue ragu kalo Davka salah satu dari mereka." Rhea kembali memakan baksonya.

"Kurang bukti apa coba? Dia tiap hari merhatiin lo, ngambil barang-barang lo, dan kemarin nunggu lo sampai kelar latihan, 'kan?"

Rhea mengangguk sembari mengunyah bakso. "Emang nih ya, kalo dia suka sama gue kenapa?" Rhea mengangkat satu alisnya. Meminta penjelasan.

"Ya...." Raya hendak menjawab, tetapi urung.

"Kenapa?" tuntun Rhea.

Raya mengedikkan bahunnya. Melempar pandang ke arah Devi. "Entah," jawabnya.

Devi memutar bola matanya. Mendengkus sebelum memegang bahu Rhea. "Kalau emang iya, jangan pernah sia-siain dia. Gue yakin, dia bukan tipe cowok yang suka main-main," ujar Devi dengan raut serius.

Rhea terkekeh. Tak ambil serius dengan apa yang sahabatnya itu sampaikan. "Bodo amatlah," tanggapnya kemudian menandaskan baksonya.

***

Jika boleh meminta, hendaknya Davka tak ingin semua itu terjadi padanya. Cukup dari awal Tuhan memberinya kehidupan sederhana. Tertawa sekadarnya, menangis sekiranya. Bukan satu-dua kebahagiaan terangkum menjadi satu. Hanya sesaat sebelum semua kepingan pahit itu menyatu. Mengusik hidupnya sejak detik itu.

Davka tak pernah lupa. Kala itu, ia tersenyum lebar dalam keluarga yang benar-benar hangat. Menatap beberapa pasang mata yang juga memandangnya. Matanya berbinar indah. Senyum, tawa beradu satu dalam belenggu suasana yang selalu Davka rindu. Hanya sebatas rindu. Mengingat semua itu tak lagi mungkin terealisasi.

"Ka, lo nggak mau pulang?" Davka tersentak. Mengerjap guna mengumpulkan kesadaran.

"Kenapa?" tanyanya

Zein mendengkus. Memutar bola mata, malas.

"Mau pulang?" ulangnya, "atau gue tinggal di sini." Zein mengedarkan matanya ke sekeliling. Menyapu seisi kelas yang telah kosong.

"Rhea mana?" tanyanya saat menyadari kursi di sebelahnya kosong.

"Latihan." Davka mengangguk. Suasana hatinya benar-benar buruk, kini.

"Lo mau nunggu dia latihan lagi?"

Davka tak langsung menjawab. Lelaki itu mengambil tasnya. Menyampirkannya di bahu kanan kemudian beranjak.

NeglectusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang