"Tiada mengapa jika detik berhenti berdetak di hidupku. Setidaknya, milyaran detik lalu cukup membuatku bahagia sebab mengenal kalian. Terima kasih untuk uluran tangan yang menguatkan, juga kasih sayang yang tak pernah berkurang."
***
Firman mengurungkan niatnya menuju kamar tatkala sosok Arza tertangkap pandangnya. Ia berjalan mendekati putranya yang tengah duduk menyendiri di ruang makan, lantas mengambil tampat di sebelahnya.
Melihat Arza yang seakan tak sadar akan kehadiran dirinya, Firman mengembuskan napas pelan. Ia siap jika setelah ini Arza akan kembali menuntut haknya, melampiaskan rasa cemburu sebab ketidakadilan yang ia terima.
"Papa tau kamu kesal karena Papa dan Mama beberapa hari ini jarang memperhatikan kamu. Tapi kamu tau kan alasannya? Kamu salah kalau menganggap Papa nggak sayang lagi sama kamu. Papa sayang, bahkan lebih dari Papa menyayangi diri sendiri."
Arza masih bungkam, enggan sedikitpun menanggapi perkataan sang ayah. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Kalau ada waktu, tolong ke rumah sakit jenguk Davka. Sebentar aja, dia nanyain kamu tadi."
Firman bangkit, mengecup sekilas puncak kepala Arza sebelum beranjak menuju kamarnya.
Entah apalagi perasaan yang menyerbu hati Arza hingga rasanya begitu asing bagi lelaki itu. Ia senang mendengar ucapan sang ayah karena artinya sekarang Davka sudah sadar. Namun, di belahan lain hatinya sakit itu masih ada, dendam itu masih berkuasa.
Arza menunduk, memejam beberapa saat, mengingat kepingan kejadian bagaimana dulu ia bisa terikat hubungan dengan Davka. Arza kembali membuka mata saat peristiwa itu menyadarkannya. Ia sudah terlalu jauh membiarkan kebencian menguasai diri, hingga kebaikan Davka pun tak ia ingat lagi. Lupa akan siapa yang dulu pernah membantunya saat maut sekejap lagi mungkin menghempas nyawa.
Arza bangkit, menyambar kunci motornya, lantas bergegas menuju rumah sakit. Dalam situasi seperti apapun nantinya, ia hanya ingin melihat Davka meski mungkin tak banyak ucap kata.
***
Langkah kaki Arza tertahan di ambang pintu ruang rawat Davka. Senyum teduh milik sang bunda menjadi hal pertama yang ia lihat setelah membuka pintu. Sementara di ranjangnya, Davka tampak tengah terlelap.
Arza mendadak ragu untuk masuk ke dalam. Ia hendak berlalu, tapi isyarat dari Dini yang memintanya mendekat mengurungkan niatnya. Pelan, Arza melangkahkan kakinya menghampiri sang bunda, berdiri di sebelahnya.
Dini yang tadinya duduk lantas berdiri, menangkup wajah sang putra dengan kedua tangan kemudian mengecup keningnya. Hangat menyelimuti hati wanita itu melihat putra sulungnya berkenan datang menemui Davka.
"Arza udah makan, hm?"
"Udah, Ma."
Dini mengangguk, kembali mengelus rambut Arza dengan sebelah tangan. "Davkanya lagi tidur. Tadi dia nanyain Arza, pengin Arza dateng ke sini."
Arza tak menjawab. Ia tatap Davka yang tampak tenang dalam tidurnya.
"Kalau kondisi Davka sudah cukup baik, dokter bilang Davka bisa cuci darah sambil nunggu donor yang cocok."
Arza melempar pandang pada sang bunda yang juga tengah menatap Davka. Dalam wajah wanita paling berharga dalam hidupnya itu, ia bisa melihat ketulusan yang dalam. Dari sorot teduh matanya kala menatap Davka, ia dapat melihat beribu kasih sayang.
Seharusnya Arza bersyukur memiliki orang tua penyayang seperti ibu dan ayahnya. Harusnya ia lebih dewasa dengan tidak mengucilkan Davka sebab merasa orang tuanya tak adil membagi kasih. Padahal tanpa sadar justru dirinya yang makin hari makin memperkeruh keadaan, hingga jarak antara dirinya dengan kedua orang tuanya makin jelas terasa.
![](https://img.wattpad.com/cover/163470300-288-k880722.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Neglectus
Teen Fiction*Colaboration story by: lyndia_sari dan UmiSlmh **** Davka merasa hidupnya terombang-ambing, berjalan tanpa tahu arah tujuan, bahkan seperti sendiri dalam keramaian. Orang bilang Davka aneh, Davka bodoh, Davka tak berguna, Davka gila, dan anggapan-a...