"Terpaku, membisu. Mengapa hanya memamerkan retina, sementara bibirmu terkatup tanpa kata?"
***
Selalu ada jawaban untuk sebuah rindu, yaitu pertemuan. Rhea tak tahu, mengapa dirinya sesenang ini ketika Davka kembali menduduki kursi di sebelahnya. Hanya karena hal itu, rasa kosong yang merajai hatinya beberapa hari ini sirna begitu saja.
Rhea bukanlah gadis yang pandai mengartikan rasa. Bahkan saat jelas-jelas ia merasa kehilangan ketika Davka lenyap dari pandang, Rhea menganggapnya hal biasa. Bukan karena sebuah rasa bernama cinta yang sejatinya akan mendatangkan kehampaan saat pemiliknya pergi.
Rhea melirik Davka yang tertidur pulas dengan kepala rebah di atas meja. Guru di depan kelas masih menjelaskan materi, tapi Davka tak peduli. Untungnya, guru itu adalah tipe guru yang tak terlalu menuntut banyak pada murid. Tidak pernah mempermasalahkan jika ada yang tidur di kelas, asalkan saat ujian nilai harus di atas KKM.
Davka menggeliat pelan, membuka mata saat lehernya mulai pegal memasang posisi seperti itu. Ia tersenyum kecil ketika tak sengaja mendapati Rhea tengah menatapnya lewat ekor mata.
Rhea mengerjap kala menyadari Davka memergokinya. Ia berdehem, membuka-buka buku, pura-pura sibuk menyimak pelajaran.
Davka mengangkat kepalanya, mengurut tengkuk dengan tangan guna meminimalisir rasa pegal. "Sepuluh detik lagi," gumamnya pelan sembari memandang jam yang terpasang di atas papan tulis, mengikuti setiap pergerakan jarum detik yang terus berotasi. "Tiga...dua...satu."
Tet...tet...tet
Davka tersenyum puas saat bel istirahat berbunyi. Tebakannya tepat. Guru yang mengajar menyudahi materi lantas keluar dari kelas.
Rhea sibuk membereskan buku-bukunya. Davka mengalihkan perhatian pada gadis itu, merekam setiap pergerakan yang dilakukannya.
"Re?" panggil Davka, mengubah posisi duduk menghadap Rhea.
"Hmmm?" Rhea mengangkat sebelah alisnya, bertanya.
"Mau ke kantin?"
"Enggak."
"Lagi puasa?"
"Enggak."
"Kok nggak ke kantin? Emang nggak laper?"
"Enggak."
Davka berhenti melontarkan pertanyaan. Membiarkan semua anak keluar dari kelas hingga tersisa dirinya dengan gadis yang sangat ia kagumi itu.
Davka tak lepas memandang Rhea, mengunci tatap gadis itu dengan tatapnya.
Rhea tak mengelak, tenggelam dalam jerat yang coba Davka ciptakan lewat sorot teduh matanya. Hening menyelimuti kedua remaja itu beberapa saat, hingga suara Davka terdengar, membuyarkan khayal Rhea.
"Pernah berpikir kalo lo bakal kehilangan gue untuk selamanya?" Davka membuka pembicaraan dengan tanya yang sama sekali tak Rhea mengerti. Gadis itu mengerutkan alisnya, menatap Davka penuh tanya.
"Lo...."
"Kalo gue tanya seberapa berharga gue buat lo, apa yang bakal lo jawab, Re?"
Bibir Rhea terkatup, bingung saat Davka menyuguhkan pertanyaan seperti itu. Bagaimana menjawab saat dirinya pun tak memahami arti Davka dalam hidupnya? Ia terlalu naif, mengelak hati yang nyatanya mulai luluh karena sosok itu.
Davka tersenyum, mengangguk pelan seakan bisa membaca apa yang tengah Rhea rasa. "Nggak perlu jawab sekarang kok. Tapi kasih tau gue kalo lo udah tau jawabannya ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Neglectus
Jugendliteratur*Colaboration story by: lyndia_sari dan UmiSlmh **** Davka merasa hidupnya terombang-ambing, berjalan tanpa tahu arah tujuan, bahkan seperti sendiri dalam keramaian. Orang bilang Davka aneh, Davka bodoh, Davka tak berguna, Davka gila, dan anggapan-a...