9- Harapan Semu

4.3K 490 20
                                        

"Di ujung jalan, kutangkap sosok itu dengan penglihatan. Namun, tanpa kusadari ternyata ku hanya sedang larut dalam harapan."

***

Samar, langit-langit ruangan yang didominasi oleh warna putih menyapa penglihatan Davka. Lelaki itu mengerjabkan matanya perlahan guna menormalkan pandangan yang masih mengabur. Setelah semakin jelas terlihat, Davka baru menyadari jika dirinya tengah berada di tempat asing. Tempat dengan aroma obat-obatan yang begitu menyeruak.

Kala melirik tangannya, Davka cukup terkejut mendapati jarum infus terpasang disana. Pikiran lelaki itu menerawang jauh mencoba mengingat apa yang sebelumnya terjadi. Ia terperanjat kala bayangan wajah seseorang yang begitu ia kagumi terbesit dalam benak.

Pelan, Davka mencoba membangunkan diri. Ia melepas nasal kanula di hidungnya agar bisa leluasa untuk duduk. Meski tubuhnya masih enggan diajak bekerja sama, lelaki itu tetap memaksa untuk bangun.

Dalam hati Davka meyakini bahwa sang ayahlah yang membawanya kesini. Ia ingin kenyataan bahwa sosok itu masih peduli dengannya bukan hanya harapan semu. Ia ingin saat keluar nanti, wajah cemas sang ayahlah yang akan menyapa, bukan lagi paras dingin yang menyayat batinnya.

Davka melepas jarum infus di punggung tangannya dengan paksa. Ia bahkan tidak peduli lagi dengan darah yang seketika mengucur. Satu tujuannya saat ini adalah segera bertemu dengan sang ayah.

Dengan terhuyung Davka melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Ia mencari pegangan kala tubuhnya benar-benar tak ingin dipaksa bergerak.

Setelah sampai di depan pintu, ia lantas membukanya. Hampir saja tubuh lemas Davka terjerembab ke depan jika seseorang dari luar tak segera menahannya.

"Astaga, Davka." Dr.Haris melingkarkan tangan Davka ke lehernya untuk membantu menopang tubuh anak itu.

"Ayah," lirih Davka. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling berharap sosok sang ayah tertangkap penglihatannya. Namun nihil, ia tak mendapatinya sama sekali.

Davka melepas rangkulan dr.Haris dengan sisa-sisa tenaganya. Ia kembali memaksakan diri mencari sang ayah. Dr.Haris tak tinggal diam. Pria bersneli dokter itu berjalan menyamai langkah dengan Davka.

"Berhenti Davka, kamu belum kuat jalan!" ucap dr.Haris mencoba membujuk Davka. Ia meraih lengan Davka, tapi dengan segera anak itu menepisnya.

"Ayah, saya harus ketemu ayah, Dok."

"Ayah kamu tidak datang."

Davka menghentikan langkahnya. Deret kata yang baru saja diucapkan dr.Haris seakan meruntuhkan semua harapannya. Putus asa, Davka meluruhkan tubuh bersandar pada tembok di sampingnya.

Dr.Haris mensejajarkan posisi dengan Davka. Ia bisa melihat dengan jelas gurat kecewa dari wajah pasiennya itu.

"Dokter bohong kan? Bukannya ayah yang bawa saya kesini?" tanya Davka tanpa menatap wajah dr.Haris.

"Kita ke kamar ya, kamu masih perlu istirahat," bujuk dr.Haris. Davka tak merespon. Ia sibuk memandang ke depan dengan tatapan kosong, tapi pikirannya dipenuhi dengan bayang sang ayah.

Tak ingin Davka berlama-lama duduk di dinginnya lantai, akhirnya dr.Haris menggendong tubuh anak itu dan membawanya ke kamar. Sementara itu Davka hanya pasrah tak ingin melawan lagi.

Dr.Haris membaringkan tubuh Davka saat sampai di ruangan. Segera ia mengobati luka di punggung tangan Davka dan memasangkan infus kembali padanya. Davka hanya diam sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia bahkan tak berprotes sedikitpun meski rasa perih menusuk inderanya.

NeglectusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang