Dingin saat bayu menyentuh kulit putih itu. Rhea biarkan dirinya terdekap angin. Rhea biarkan pikirnya menyisir kisah singkat yang dibuatnya dengan sosok itu.
Awan menangis lagi. Tapi Rhea lebih tegar kali ini. Ditantangnya rintik basah itu dengan kepala menengadah. Seolah menikmati gelitik air yang jatuh setetes dua tetes.
Gadis bersurai tergerai itu membiarkan semua luka mengudara. Menghirup sebanyak mungkin oksigen untuk memenuhi rongga dada. Mengusir sesak yang pada akhirnya tetap mendesak.
Davka menyukai semua pada dirinya. Fisiknya, kepribadiannya, bahkan barang yang dipunyanya. Namun, dirinya berani bertaruh, kalau Tuhan berkenan mempertemukannya kembali pada sosok itu, kendati mustahil, Davka pasti akan meralat kalimatnya.
Rhea benci menangis. Dan diyakininya Davka jua demikian.
Telapak tangan lembut itu terangkat. Beralih bertengger di depan dadanya kemudian ditepuknya pelan bagian itu.
Meski, sedikit sesalnya karena pernah mengabaikan Davka, karena terlalu lambat menyadari perasaannya terhadap lelaki itu, tapi Rhea tetap bahagia. Setidaknya, ia pernah mengukir seserpih kisah yang kelak akan tercatat dalam sejarah.
Rhea tersenyum samar. Melukis paras indah itu dalam benaknya.
Decorum neglectus.
Love,
@lyndia_sari, UmiSlmhCentral Java, 06-03-19
KAMU SEDANG MEMBACA
Neglectus
Teen Fiction*Colaboration story by: lyndia_sari dan UmiSlmh **** Davka merasa hidupnya terombang-ambing, berjalan tanpa tahu arah tujuan, bahkan seperti sendiri dalam keramaian. Orang bilang Davka aneh, Davka bodoh, Davka tak berguna, Davka gila, dan anggapan-a...