"Aku berdiri di tepi lara. Berniat beranjak, tetapi sebuah tangan menarikku ke dalam sana. Kembali, aku tenggelam dalam luka."
***
Davka mengerjap kala sinar bulan yang masuk melalui kaca balkon jatuh tepat di wajahnya. Bibirnya mendesah saat nyeri itu masih terasa meski tak sekuat sore tadi. Lelaki itu berniat bangkit. Masih dengan meremas pinggang bagian bawahnya. Ah, sial. Bahkan, kini ia merasa perutnya diaduk ke segala arah. Perpegang kepala kasur, ia bangkit menunju kamar mandi. Menguras isi lambungnya di depan wastafel.
Davka memejamkan matanya. Mundur beberapa langkah guna mencari tempat bersandar. Tubuh itu meluruh perlahan bersamaan dengan air bening yang turut menggenang.
Pada saat seperti ini, Davka merindukan sosok itu. Sosok wanita lembut yang selalu menenangkannya dalam dekap. Mengusap surai hitamnya penuh kasih saat ia merintih.
Sesak. Saat kepingan-kepingan itu kembali muncul dalam benaknya. Belaian lembutnya, tutur halusnya, dan pandang matanya yang teduh. Ia terisak saat fakta menyadarkannya bahwa detik itu, Tuhan mengambil sosok bidadari miliknya.
***
"Ekhem." Dehaman dari kepala keluarga sontak membuat anggota keluarga lain monghentikan kegiatan sarapannya.
"Mobil kamu belum Papa ambil," ucapnya. Davka mengernyit sesaat. Sebelum sadar jika mobilnya masih ditinggal di bahu jalan oleh sang kakak.
"Maaf Pa. Davka lupa ngambil," ujarnya.
"Diderek polisi. Nanti biar Papa yang ngambil di kantor," tutur pria baruh baya itu.
Davka sesaat menoleh ke arah Arza. Di sana, lelaki itu masih tenang menghabiskan sarapannya. Seakan tak merasa bersalah barang sedikit pun.
"Nanti kamu berangkat bareng Arza dulu, ya?"
Arza menghentikan sarapannya. Meletakkan sondok kemudian menatap sang ayah.
"Arza bareng teman. Kemarin udah janjian mau Arza jemput," bantah lelaki itu.
"Arza kan bisa batalin. Bilang ke teman Arza kalo Arza berangkat bareng Davka hari ini." Sang ibu angkat suara.
"Hm...." Arza hanya bergumam tak jelas. Malas jika sang ibu mulai memojokkannya. Alhasil, kegiatan sarapan pagi itu berjalan dalam diam.
***
Berdesak-desakan dalam bus. Menurut Davka, hal itu lebih baik dibanding harus berada dalam satu kendaraan yang sama dengan Arza. Toh, lelaki yang lebih tua darinya itu pasti akan menurunkannya di jalan, lagi.
Davka menghempas tubuhnya pada satu kursi kosong. Pagi ini, tubuhnya masih terasa lemas hingga tanpa peduli ia merebut kursi kosong itu dari seorang gadis berseragam putih biru.
"Gantian berdiri ya, Dek? Gue lagi nggak enak badan." Gadis SMP berkucir kuda itu mengerucutkan bibirnya. Davka masih mendengarnya mendumel tak jelas, tetapi ia mendisfungsikan telinganya. Bersikap tak acuh.
Davka memejamkan matanya. Mengambil napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Begitu berulang-ulang sebelum sebuah suara terdengar.
"Kak berdiri. Ada bakap-bapak yang mau duduk."
Davka membuka matanya. Menyipit guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Ia mengerjap sesaat. Terbelalak kemudian setelah matanya menangkap dengan sempurna bayangan wajah itu. Wajahnya berubah sepucat kertas. Keringat dingin mulai membanjiri tubuhnya. Bahkan, detik itu ia lupa bagaimana caranya bernapas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Neglectus
Teen Fiction*Colaboration story by: lyndia_sari dan UmiSlmh **** Davka merasa hidupnya terombang-ambing, berjalan tanpa tahu arah tujuan, bahkan seperti sendiri dalam keramaian. Orang bilang Davka aneh, Davka bodoh, Davka tak berguna, Davka gila, dan anggapan-a...