10- Realita

4.3K 492 25
                                    

Tersadar. Bahagia hanya akan menjadi sekadar kata kala mata terbuka. Namun, jika boleh aku meminta satu kebahagiaan yang nyata, memandangmu dalam waktu lama.

***

Andai jika ada mesin pemutar waktu, mungkin Davka rela mencarinya hingga ke tepi dunia. Menyelisik isi langit dan bumi hingga penghujung masa. Mimpi. Terdengar indah, bukan? Jika ia dapat kembali duduk di pangkuan sang Ibu. Duduk di pundak sang Ayah untuk  sekadar melihat dunia yang luas. Davka masih terjaga. Hanya mengijinkan sinar bulan yang menerobos celah gorden sebagai penerang, mengenang dengan maksud kembali menemukan kehangatan kasih. Namun, nihil. Kendati berniat demikian, dingin menyelimuti tubuh. Menyadarkan bahwa faktanya, dia sendiri di sini. Di tempat tergelap dari semua pekat yang pernah ia cicipi.

"Ginjal kamu yang satunya juga sedang bermasalah."

Jika sosok sang Ayah tak lagi berkenan melengkapi kokosongan dalam definisi bahagia miliknya. Apakah bertemu sosok sang Ibu akhir yang sempurna? Davka memejamkan matanya. Membiarkan sinar bulan menangkap setitik air mata yang mengalir dari ekor matanya.

"Bunda, Davka kangen." Dan biar, hanya sunyi menjadi saksi seberapa rapuhnya ia.

***

"Pasti adek bakal ganteng kayak Davka, 'kan Bun?"

Sang Ayah menggeleng tak setuju. Kembali mengelus perut sang istri yang masih datar.

"Adek pasti bakal mirip Devin." Kini giliran si sulung yang berujar. Sedangkan sang kepala keluarga lagi-lagi menggeleng.

"Nggak boleh. Devin sama Davka udah seganteng Ayah. Jadi, adek harus secantik Bunda."

Sang Ibu menggeleng. Bukan tanda tak setuju, hanya melihat kelakuan tiga laki-laki yang berharga dalam hidupnya itu mengundang geli. "Ayah sama aja kayak anak-anak," tanggapnya.

Sang Ayah tersenyum lebar. Menarik tubuh sang istri kemudian mengecup mesra keningnya. Sedangkan Devin dan Davka berganti memandang orang tuanya satu per satu. Sebelum kakak adik itu beradu pandang sama-sama tak paham.

***

Kedua bocah itu berlari tanpa peduli sekitar. Taman yang sudah ramai oleh para tamu di acara ulang tahun pertama sang adik tak jadi alasan untuk berhenti saling mengejar. Davka terengah, dengan napas yang  tersengal, kaki kecilnya tak henti mengejar sosok sang kakak.

"Davka nyerah," ujarnya pasrah. Tubuh kecil itu merunduk. Menahan badan dengan menumpu tangan pada kaki.

Devin menghentikan larinya. Berbalik. Menghampiri sang adik dan menepuk pundak yang lebih kecil dari miliknya itu. Davka lagsung menegakkan tubuh. Menepuk lengan Devin seraya berseru, "Kakak kena!" kemudian berlari secepat yang ia mampu.

"Davka!" Devi berseru. Dendam terpancar dalam wajah berkeringat itu.

"Awas kamu!" Davka melepas tawa. Tak ambil peduli dengan ancaman sang kakak. Langkah kaki kecilnya melaju ke luar dari areal pesta. Bahkan, ke laur dari taman. Tersadar, ia mengedarkan pandangan. Mengamati sekeliling yang tampak sepi. Juga tak ditemukannya sang kakak di sana.

"Kak Devin?" Mata itu masih mengedar meski rasa takut mulai menyelimuti hati kecilnya. Kata Devin, penculik bias muncul dari mana saja. Jika Davka menemukan mobil jeep, biasanya orang-orang bertopeng akan keluar dari sana. Membawa karung sebagai tempat menyimpannya.

"Kak, Davka takut." Davka mulai menangis. Tubuhnya mendadak bergetar saat dilihatnya mobil jeep dari kejauhan. Denga cepat, Davka berlari. Bersembunyi di balik pohon dengan keringat dingin yang mulai mengucur.

NeglectusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang