18-Rasa Bersalah

4.6K 502 56
                                        

"Mati itu mutlak. Yang penting adalah bagaimana kita menitih hidup agar mendapatkan tempat layak tatkala nanti menghadap Tuhan."

***

"Kak Davka," teriak Ara saat melihat tubuh kakaknya meluruh, rebah di depan makam sang bunda. Gadis kecil itu terus berontak dalam bopongan sang ayah, menangis sembari meneriaki nama kakaknya.

"Ayah, turunin Ara! Kak Davka jatuh."

Langkah Harun terhenti mendengar ucapan putrinya. Sejenak ia membeku, hingga rasa penasaran mendesaknya tuk menoleh kembali ke belakang. Entah dorongan dari mana, tangan kekarnya perlahan menurunkan Ara, membiarkan gadis kecil itu berlari menghampiri kakaknya.

"Ayah, cepat tolongin kakak!"

Teriakan Ara tak lantas membuat Harun bergegas menghampiri Davka. Pandang pria itu beralih pada nisan sang istri. Bukannya mereda, justru dendam di hatinya makin membara.

Keadaan memaksanya kembali menyelami masa lalu. Karena Davka, belahan jiwanya tiada. Karena Davka, harga dirinya hancur di mata orang-orang. Ada luka yang kembali menganga setiap kali ia memandang Davka. Ada kekecewaan teramat dalam yang bahkan tak pernah ia rasa sebelumnya.

Ada kalanya Harun merasa gundah, saat tak disangka Tuhan kembali menghadirkan sosok Davka untuknya.

Harun memejam, mencoba menghapus rasa yang hadir tanpa diminta.

"Davka mirip kamu, Mas. Suatu saat pasti bakal jadi anak sukses dan suami yang baik kayak Mas."

Dalam pejam, bayang itu datang. Kala sang istri mengutarakan isi hatinya sembari menggendong Davka kecil yang sudah terlelap dalam dekap. Kemudian dengan bangga ia mengangguk, sepakat dengan ucapan itu.

"Davka nggak takut kok, kan ada ayah yang jagain Davka."

Faktanya Harun lupa akan perannya sebagai seorang ayah. Ayah bagi Davka, yang harusnya menghias hidup anak itu dengan penuh cinta.

Namun, tidak. Ia justru memutus hubungan yang dulunya tersimpul erat, membuang Davka tanpa sedikitpun rasa berat.

"Ayah."

Harun membuka mata, bersamaan dengan suara Ara yang melemparnya kembali ke alam nyata. Ia mengusap air mata yang tanpa sadar meluruh, lantas bergegas melangkahkan kakinya menghampiri Davka.

Pria itu tertegun melihat betapa pucat wajah Davka dengan peluh yang membasahi hampir seluruh wajahnya. Dingin menusuk kala permukaan tangannya bersentuhan dengan pipi Davka.

Harun merogoh saku celana, mengeluarkan kunci mobil, lantas memberikannya pada Ara. "Ara bisa buka mobil kan? Bantuin Ayah, oke? Jangan nangis."

Ara mengangguk. Ia mengusap air mata, kemudian bergegas menuju tempat dimana mobil ayahnya terparkir.

"Ka." Harun menepuk pipi Davka, berharap sosok itu masih dapat mendengar panggilannya. Ia dapat melihat bibir putranya bergetar seakan ingin mengucap sesuatu, ia masih setengah sadar. Tak ingin membuang waktu lebih lama, Harun segera menggendong Davka di punggungnya, membawanya pergi dari tempat itu.

"Yah."

Lirih suara itu menyapa pendengaran Harun.

"Maaf."

***

Kaki jenjang lelaki itu berlari capat menyusuri koridor rumah sakit. Jantungnya berdetak tak karuan di dalam sana, pikiran buruk mengiring setiap jejaknya.

Devin mempercepat langkah tatkala netranya menangkap sosok ayah dan adiknya. Sebuah tanya terbesit dalam benak melihat kedua orang yang sangat dicintainya itu tampak baik-baik saja.

NeglectusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang