Aku tak akan meminta lebih. Jika boleh, waktu memanjanglah untukku. Bukan untuk apa. Hanya sekadar untuk menghapus luka yang kutoreh
***
Davka termenung di kantin. Melempar pandang pada keramaian yang ada. Namun nyatanya, tatapnya kosong selagi pikirnya masih digelayuti kejadian pagi tadi. Saat tak ayal Dini dibuat khawatir oleh ketidakpulangan Arza sejak malam. Ponsel lelaki itu bahkan tidak aktif.
Lelaki itu mengembuskan napas kasar. Ah, ia hanya ingin hidup tenang. Tak bahagia mungkin tak apa. Asal ia dapat sekali saja menarik napas tanpa beban. Tersenyum tanpa paksaan jika boleh.
"Ka." Davka tersentak saat sebuah tepukan mendarat di pundaknya. Ia menoleh. Tersenyum tipis ke arah Zein yang mengambil alih kursi kosong di sebelahnya.
"Lo pacaran sama Rhea?" Kening Davka berkerut saat lelaki itu bertanya langsung pada inti. Memang Zein buka tipe seorang yang suka bertele-tela. Namun jujur, Davka terkejut akan hal itu.
"Nggak," singkatnya.
Zein mengangkat sebelah alisnya seraya mengosongkan gelas es jeruk yang Davka pesan.
"Beri kepastian gih." Zein memutar-mutar sedotan selagi matanya fokus pada wajah Davka.
Davka menghela napas sebelum bibir lelaki itu berkedut. Kembali membentuk senyum tipis. "Kepastian apaan? Dia aja samar. Nggak pasti. Gaib." Lelaki itu terkekeh.
"Dia baper kalo lo gituin terus." Zein beralih mengambil snack Davka. Namun, lelaki itu segera menjauhkan snack-nya.
"Rhea bukan tipe cewek kek gitu," ujar Davka di sela-sela kunyahannya.
"Tau apa lo masalah cewek, hm?" Zein mengangkat kedua alisnya. Menantang lelaki yang telah lama bersahabat dengannya itu.
Davka mengedikkan bahu, tak acuh. Fokusnya kali ini bukan pada paras cantik itu. Melainkan, bagaimana caranya mengembalikan semuanya. Semua yang Arza milik sebelum kedatangannya. Sebelum Tuhan mengutus malaikat untuk bertemu ibunya kelak, Davka ingin mengembalikan semua pada tempatnya. Kenyamanan kedua orang tua angkatnya, kebahagiaan Arza, dan mungkin keikhlasan ayah dan kakaknya oleh kepergian sang Ibu.
"Ka?"
"Ya?" Davka kembali tersentak.
"Lo sakit?"
Davka menggeleng.
"Muka lo pucet."
Davka meraba wajahnya. Seolah dengan begitu telapak tangannya dapat menggantikan indra penglihatannya.
"Ya nggak bakal keliatan kalo diraba-raba gitu goblok!"
***
"Re lo laper?"
"Ha?" Rhea mengangkat kepalanya. Menyibak rambut yang jatuh menutupi wajah setelah sedari tadi gadis itu tertunduk.
"Mau makan?"
"Oh nggak." Rhea kembali pada posisi awal. Menundukkan kepalanya dan memijat pelipis.
"Pusing banget gue," adunya.
"Mau ke RS?" Davka menoleh sekilas ke arah gadis itu sebelum matanya kembali fokus pada jalan raya.
"Bukan gitu juga elah. Gue pusing nanggung tugas susulan ini-itu. Mana karnavalnya besok lagi." Gadis itu memejamkan matanya. Raut lelah tampak jelas dalam paras itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Neglectus
Teen Fiction*Colaboration story by: lyndia_sari dan UmiSlmh **** Davka merasa hidupnya terombang-ambing, berjalan tanpa tahu arah tujuan, bahkan seperti sendiri dalam keramaian. Orang bilang Davka aneh, Davka bodoh, Davka tak berguna, Davka gila, dan anggapan-a...