Kalau melihat kejadian yang ada, rasa yang sebenarnya akan tersingkap jikalau takut kehilangan hadir menjelma.
***
Dari balik dinding itu, Arza merekam semuanya. Entah sebab apa dirinya dapat berakhir di tempat ini. Yang dipedulikannya kini, hanyalah sosok wanita yang duduk di kursi tunggu. Meremat jemarinya selagi aliran sungai kecil melewati pipi putihnya.
Tanpa sadar, tadi Arza sempat bertanya tentang kondisi Davka pada suster yang lewat. Dan sesalnya setelah mendapat jawab itu, ada sebagian rasa aneh yang mendobrak hatinya. Barangkali kasihan, atau lebih tepat disebut penyesalan?
"Kondisi Davka memburuk sejak subuh tadi."
Satu kalimat itu kembali terngiang. Satu alasan kuat mengapa netra milik Dini merah sembab kini.
Arza menghela napas panjang. Menengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Pukul 07.03 a.m. Sekiranya tiga jam sudah Davka berada dalam pengawasan ketat. Bahkan sesekali dokter dan suster masih keluar masuk tergesa-gesa ke ruang sana. Ayah dan ibunya juga belum diperbolehkan masuk, kendati sekadar menengok keadaan putra angkat mereka.
Davka Alvino Narindra.
Arza ingat, ia pernah menjadi orang yang paling senang saat Narindra bersemat di belakang nama Davka. Ia pernah menjadi kakak yang paling mencintai adiknya, meski itu hanya berlaku beberapa minggu. Sebelum sosok itu benar-benar mengambil alih semua. Tak hanya memutarbalikkan dunia, tapi juga berhasil mengubah dirinya.
Davka.
Arza selalu berpikir, dia sosok terbodoh yang pernah ada. Hanya sesekali melawannya, kendati ia banyak kali mencoba menyakiti sosok itu. Tak hanya fisik, batin pun ia tekan sekuat tenaga agar bisa enyah dari pandangnya. Tapi Davka, tetaplah Davka. Ia bukan seorang yang mudah membenci, mungkin sering sakit hati, tapi senyumnya tetap tempat sembunyi yang ia miliki.
Lagi. Arza mengulanginya entah untuk yang keberapa kali. Lelaki itu menghela napas. Memejam beberapa saat sebelum memutuskan untuk beranjak dari tempatnya. Berniat turut berada di antara kesedihan orang tua mereka. Namun, egonya terlalu kuat. Rasa gengsinya terhadap seorang yang tengah berjuang itu terlalu tinggi.
Arza berbalik. Urung mendekat ke depan Ruang ICU dan malah memilih pergi jauh dari tempat itu. Dan konyolnya, entah untuk Davka sendiri, untuk orang tuanya, atau mungkin untuk dirinya, bisikan kecil di hatinya terdengar.
Untuk pertama kalinya, Arza ingin melihat sosok itu lagi. Ingin kembali berhadapan. Bertatapan. Entah dalam situasi seperti apa nantinya.
***
"Ka, penggaris!"
Rhea cengo. Ini sudah seminggu dan belum juga gadis itu terbiasa akan ketidakhadiran Davka. Biasanya, lelaki itu yang akan merusuhinya saat mengerjakan PR di sela-sela jam istirahat.
Gadis itu menurunkan bahunya. Menyisir sekeliling yang sepi terkontaminasi dengan bising di luar sana.
Biasanya, Davka yang akan menariknya ke luar. Cari udara segar, katanya. Kendati berakhir dengan pekerjaan rumah mereka tak selesai dan mendapat bonus membersihkan gedung sekolah.
Bibir merah Rhea berkedut. Lucu mengingat tingkah lelaki itu. Meski seringnya sukses membuat ia naik darah, tapi dihukum bersama Davka merupakan saat-saat terkonyol yang selalu terekam ulang.
"Lo kemana aja sih, Ka?"
"Ke hati lo." Rhea terkekeh kala batinnya yang menjawab. Pasti jika sosok itu ada di sini, hal itulah yang akan keluar dari bibir tipis Davka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Neglectus
Teen Fiction*Colaboration story by: lyndia_sari dan UmiSlmh **** Davka merasa hidupnya terombang-ambing, berjalan tanpa tahu arah tujuan, bahkan seperti sendiri dalam keramaian. Orang bilang Davka aneh, Davka bodoh, Davka tak berguna, Davka gila, dan anggapan-a...