"Semakin ku berjuang, ternyata semakin banyak masalah berdatangan. Lantas aku harus apa? Berdiam diri sampai Tuhan memanggilku tuk kembali?"
***
Davka memasuki bilik toilet dengan langkah terburu-buru. Ia merogoh tas mencari tabung kecil berisi pil-pil ajaib untuk menumpas rasa sakitnya. Ia menuangkan butir obat itu ke tangannya yang bergetar kemudian menelannya tanpa bantuan air.
Pahit.
Rasa itu memenuhi permukaan lidah Davka, tapi ia mencoba menahannya. Pelan lelaki itu berjalan menuju wastafel, berkumur untuk mengenyahkan rasa pahit dari obat yang ia telan.
Tak kuat terus-menerus berdiri, Davka meluruhkan tubuhnya bersandar pada tembok. Ia meremas kuat pinggang bawahnya yang sakit luar biasa. Keringat dingin seakan tak puas membanjiri wajah pucatnya, turut menegaskan betapa menyedihkan nasib seorang Davka.
Tak ada yang Davka tunggu selain enyahnya rasa sakit dari tubuhnya. Dalam hati ia merapalkan do'a berharap obat-obat yang ia telan mampu menjadi perantara Tuhan untuk menolongnya.
Davka menggigit daging dalam pipinya sebagai pelampiasan rasa sakit. Sebisa mungkin ia mencoba untuk tetap mempertahankan kesadarannya. Lelaki itu memejam, membiarkan lara merengkuh tubuhnya dalam setiap detik.
Perlahan tapi pasti, rasa sakit itu mulai berkurang. Agaknya Davka bersyukur karena bisa bertahan meski tubuhnya semakin terasa lemas.
Usai mengumpulkan tenaganya kembali, Davka mencoba untuk bangkit. Lagi, ia berdiri di depan wastafel membasuh wajah pucatnya agar terlihat lebih segar. Kedua tangannya ia tumpukan pada sisi wastafel selagi netranya menatap pantulan diri dalam cermin.
Sedikit, Davka menarik kedua ujung bibirnya. Bolehkan ia berbangga diri sebab berhasil bertahan setelah berperang dengan rasa sakit tadi?
Davka menggelengkan kepalanya samar.
Tidak.
Ini hanya kemenangan sementara. Di lembar-lembar kehidupan berikutnya, mungkin ada hal yang lebih pantas ia banggakan. Seperti diterima kembali oleh keluarga kandungnya dan membebaskan Arza dari dirinya mungkin?
***
Memaknai kata andai. Sebatas impian yang entah kapan akan tercapai. Davka suka berandai-andai. Seperti mengandaikan Rhea menjadi miliknya. Namun kembali, bukan itu yang ia tuntut. Tuhan berkenan memperpanjang detiknya dengan gadis itupun sudah lebih dari cukup.
Entah sejak kapan benih-benih perasaan suka tumbuh dalam hati Davka. Iapun tak mengerti. Perdebatan yang lebih sering terjadi malah membuatnya kian terikat dalam jerat rasa yang semakin menjadi.
Davka menatap langit, tersenyum kala mega jingga menyapa pandangannya. Seharusnya ia langsung pulang setelah mendapat serangan beberapa waktu lalu. Namun tidak. Ia masih ingin menunggu Rhea menyelesaikan latihannya.
Tak lama bagi Davka menunggu waktu itu tiba. Rhea telah menyudahi latihan sorenya. Gadis itu berjalan tak bersemangat menghampiri Davka lantas mengambil tempat duduk di sebelahnya. Ia tampak sangat kelelahan dengan keringat yang membasahi pelipis serta rambutnya.
"Rambut lepek, wajah kusam, baju basah karena keringat. Lo berantakan gini tapi kok masih tetep cantik ya, Re?" celetuk Davka.
Rhea diam. Ia terlampau letih sehingga malas menanggapi obrolan Davka.
"Jangan terlalu diporsir latihannya! Masa sampai mau maghrib begini?"
"Iya iya, Davka yang bijak," jawab Rhea sedikit tak niat. Davka tertawa, ia mengacak rambut Rhea gemas. Tak suka dengan itu, Rhea lantas menghujam Davka dengan tatapan tajamnya.
"Yuk pulang, Re. Petang begini biasanya banyak Wewe Gombel cari cewek cantik sama cowok ganteng. Ntar kita jadi korban kan repot." Davka bangkit dari duduknya disusul Rhea. Mereka berjalan berdampingan menyusuri koridor sekolah yang sudah sepi.
"Lo ngapain sih nungguin gue terus sampai selesai latihan?" tanya Rhea menatap Davka sekilas.
"Karena menunggumu adalah hal paling menyenangkan."
Sontak Rhea menghentikan langkahnya. Ia manatap Davka seakan jijik dengan kalimat yang baru saja lelaki itu lontarkan. Gadis itu berjalan cepat meninggalkan Davka setelah sebelumnya bergidik ngeri.
"Loh Rhea kenapa?" gumam Davka pelan. "Kayaknya dia nggak pernah ada yang nunggu selain gue."
***
Pranggg
Davka terbelalak kala dirinya tak sengaja menjatuhkan proyek tugas milik Arza. Mini robot yang Arza buat hancur berantakan di atas lantai dapur. Davka berjongkok, memunguti keping-keping proyek milik Arza dengan tangan bergetar karena takut.
Memperbaikinya tentu Davka tak bisa. Otaknya tak sepandai itu untuk merangkai kembali mini robot Arza seperti sebelumnya.
Suara benda pecah belah tadi tak luput menyapa pendengaran Arza. Lelaki itu membulatkan mata kala melihat Davka berdiri memegang mini robotnya yang sudah tak berbentuk.
Arza berjalan cepat menghampiri Davka lantas mencengkram kerah baju lelaki itu. "Lo apain proyek gue hah?"
"Ma...maaf, Kak. Gue nggak sengaja. Tadi--"
Arza melayangkan tinju pada Davka membungkam mulut lelaki itu yang ingin menjelaskan. Tubuh Davka terdorong ke samping. Pelipisnya terantuk sudut meja membuat darah segar seketika mengalir.
"Dasar bego, nggak punya otak," umpat Arza dengan keras. Davka bergeming di tempatnya. Ia memegang pelipisnya yang masih mengeluarkan darah hingga melumuri tangan.
Kegaduhan itu mengundang perhatian Firman dan Dini. Sepasang suami istri itu terkejut mendapati Davka berlumuran darah. Dini lantas menghampiri Davka yang terduduk di lantai.
"Kamu kenapa, Ka?" tanya Dini panik. Wanita itu bergegas mengambil kain bersih untuk menutup luka Davka.
"Ada apa ini, Arza? Apa yang kamu lakukan pada Davka?" tanya Firman menginterogasi Arza.
"Dia rusak proyek tugasku sampai hancur begini, Pa. Ini harus dikumpulin dua hari lagi dan dia hancurin gitu aja," adu Arza dengan berapi-api.
"Nggak perlu pakai kekerasan juga kan? Nanti papa pasti bantu buat perbaiki. Seharusnya kamu juga jangan taruh di tempat sembarangan. Davka juga pasti nggak sengaja, kamu nggak seharusnya sampai melukai dia seperti itu."
Arza tersenyum miring menyadari bahwa disini seolah dia yang sepenuhnya bersalah. "Okey emang aku yang selalu salah dan si brengsek itu yang selalu benar."
Plakkk
"MAS," teriak Dini menegur sang suami yang baru saja menampar telak pipi putranya.
"Jaga bicaramu! Belajar dari mana kamu umpatan kasar seperti itu hah?" tatapan tajam Firman bertemu dengan sorot mata tak kalah tajam milik Arza.
"Pa, udah. Davka nggak papa. Emang Davka yang salah kok." Davka berdiri dari tempatnya lantas menghampiri Firman mencoba mendinginkan suasana yang semakin memanas.
Arza tersenyum, miris. "Tamparan pertama dari orang yang selama ini aku percaya. Terima kasih, Pa. Ini cukup menyakitkan." Usai mengatakan itu, Arza bergegas meninggalkan semua orang disana.
Dini menyusul Arza setelah sebelumnya memandang Firman dengan tatapan penuh kecewa. Tidak harus dengan menampar bukan?
Davka terduduk lemas di kursi. Ia menepuk dadanya yang terasa sesak seolah udara yang ia hirup bercampur dengan racun. Apa lagi ini? Sekuat apapun ia mencoba meminimalisir luka yang ia torehkan pada keluarga itu, nyatanya semua justru semakin berdatangan membuatnya terbelenggu dalam rasa bersalah yang tak berkesudahan.
Bersambung...
Nggak mau nipu lagi😁
Mayan buat malmingan. Hehe
Jangan lupa voment yang banyak ya biar authornya semangat. Terima kasih💓💓
Love,
lyndia_sari, UmiSlmhCentral Java, 01-12-2018

KAMU SEDANG MEMBACA
Neglectus
Jugendliteratur*Colaboration story by: lyndia_sari dan UmiSlmh **** Davka merasa hidupnya terombang-ambing, berjalan tanpa tahu arah tujuan, bahkan seperti sendiri dalam keramaian. Orang bilang Davka aneh, Davka bodoh, Davka tak berguna, Davka gila, dan anggapan-a...