"Kepingan-kepingan itu pada akhirnya akan mengelupas. Tapi bagaimanapun, tetap meninggalkan bekas, kan?"
***
Gerimis tak lantas melunturkan niatan itu. Awan mendung menggantung seolah turut berduka. Tak juga menyita langkah lelaki itu untuk terhenti. Devin mempercepat langkah kakinya. Jikalau bisa, ingin rasanya ia menggulung jalan agar lebih dekat. Ingin rasanya ia memperlambat waktu agar harapnya melihat wajah itu benar dapat terwujud. Napas lelaki itu memburu, saat didapatinya keramaian di bawah pohon kamboja sana. Samar masih terdengar doa yang mengalir tertangkap indra.
"Ara mau ketemu Kak Davka!" rengek gadis kecil itu masih tersimpan jelas dalam memorinya. Bagaimana mata sembab Ara menatap harap dirinya agar mempertemukan mereka. Namun, sangat besar penyesalannya mengingat kala itu. Devin membiarkan Ara menangis sejadi-jadinya. Tak ada sedikit pun belas kasih untuk menyusulkan Ara pada Harun yang sudah lebih dulu ke rumah sakit.
"Ini Ara," sosok sang adik itu menunjuk gambar bocah kecil berkepang dua, "Ara punya dua kakak ganteng semua. Namanya Kak Devin sama Kak Davka."
Devin ingat, saat dengan percaya diri Ara menunjukkan hasil gambarnya di depan kawan-kawan TK-nya. Hanya ada tiga objek di sana: Ara, dirinya, Davka.
Davka bertepuk tangan bangga kala itu. Sontak membuat Devin melakukan hal yang sama.
"Kata Kak Davka, Bunda sama Ayah lagi bulan madu. Jadi sementara kita bertiga dulu." Kalimat yang lepas dari si polos Ara mengundang tawa seisi ruangan.
Davka tersenyum malu kala itu. Sedikit menyesal pernah mengatakan hal itu pada Ara. Sedangkan Devin refleks menjitak kepala adik lelakinya itu.
Ara sosok gadis ceria. Menurun dari sifat kakak keduanya, Davka. Maka tak heran jika mereka bersama selalu sempurna memojokkannya dalam pendapat yang berbeda. Seperti waktu itu. Mereka pernah berkumpul bersama di ruang keluarga. Saat sosok sang bunda masih nyata dapat diraba. Devin menyandarkan kepalanya di bahu wanita paruh baya itu.
"Ara, kalau Kak Davka sama Kak Devin lebih ganteng siapa?" Davka memajukan bibirnya ke telinga Ara. Berbisik. Tapi masih dapat tertepi ke telinga Devin.
"Gantengan Devin dong," celetuk putra tertua.
Davka sontak merotasikan bola matanya. Tersenyum puas saat dengan tegas Ara menjawab, "Ganteng Kak Davka!"
Devin mencebik. Sedangkan yang lain terkekeh geli.
"Kak Devin jelek! Kak Devin jahat! Kak Devin jahat sama Kak Davka! Kak Devin jahat sama Ara!" Kalimat yang berulang-ulang terputar itu, banyak kali menampar sadarnya.
Ara benar. Ia jahat. Ia sosok jahat yang membiarkan amarahnya menguasai dirinya hingga membenci sosok sang adik. Seorang yang juga pernah tinggal di rahim ibunya. Seseorang yang berbagi tali pusar dengannya. Seseorang yang juga merasakan air susu sang bunda.
Devin berlari. Tak peduli beberapa kali kaki panjangnya menyandung batu nisan. Lelaki itu menyibak keramaian. Namun, nihil. Tak didapatnya raut Davka di antara mereka. Hanya gundukan tanah bertabur bunga yang menjawab harapnya semula.
Devin terduduk. Seperti inikah cara Tuhan menghukum dirinya?
Bahkan ia belum sempat melihat wajah itu. Belum sempat bersitatap. Belum sempat mengucap maaf. Tapi tanah basah itu lebih dulu menimbun tubuh Davka. Lebih dulu menutup kemungkinan mereka untuk bertemu. Tanpa menutup luka pada dirinya yang makin melebar.
"Lo boleh marah sama gue, Ka! Tapi nggak seharusnya lo hukum gue dengan cara begini!" Tangan Devin terkepal. Meremas tanah di depannya. Menangis sebisanya hingga menyisakan iba bagi siapa yang melihatnya, "lo bilang, lo mau ketemu gue! Lo bilang lo mau minta maaf ke gue! Tapi ini apa, hah? Lo kira gue bakal maafin lo kalo lo kayak gini, hah?"
Ngilu. Rhea yang berjongkok di sisi lain, di depan lelaki itu hanya dapat memandang sendu. Seberapa beruntungnya ia dapat menghabiskan waktu terakhir Davka bersama. Seberapa beruntungnya ia pernah mengukir tawa di wajah lelaki itu.
Devin masih meraung. Namun, takdir kematian yang telah terputus, tak lagi dapat berubah. Tak lagi dapat berputar arah.
"Maafin gue Ka.... maaf....." Meski sadar, seberapa banyak kalimat itu terlafal dari bibirnya tak dapat membangkitkan sosok yang telah kaku didekap bumi. Namun, Devin berharap Tuhan mendengar semua. Mendengar pinta maafnya kepada sosok itu agar Dia berkenan menyampaikannya pada sang adik.
***
"Tipe-X gue mana Dav--" Rhea menoleh. Dan tak didapatinya sesosok orang di sampingnya. Sedikit terkesiap memang, tapi dengan cepat gadis itu mengumpulkan sadarnya.
"Tipe-X gue Dev!" Rhea berlari menyusuri koridor.
"Dev! Devi woy!" Langkah Rhea melambat saat sahabat perempuannya itu menghentikan langkahnya.
"Eh sorry, kebawa." Devi menyengir tanpa rasa bersalah. Diaduknya saku rok abu-abunya guna mencari benda itu di dalam sana.
"Nggak lo, nggak Davka sama aja! Harus ya gue duduk sendiri biar barang-barang gue tetap terjaga?" Rhea mendengkus. Tapi gadis yang kini telah berdiri di depannya itu malah memperlihatkan deretan gigi putihnya.
Sejak dua bulan yang lalu, selepas sosok itu pergi, Devi menggantikan posisi Davka duduk di sampingnya. "Biar Rhea nggak kesepian," begitu katanya saat kali pertama mendudukkan tubuh di sampingnya. Rhea tersenyum tipis mengingat hal itu. Nyatanya, seberapa banyak orang-orang baru yang hadir. Seberapa banyak orang yang berusaha menggantikan posisi Davka, kedudukan lelaki itu tak pernah bergeser.
"Gue balik. Semangat remidinya!" Devi mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat. Diangkatnya ke udara. Sebelum melambai kemudian beranjak pergi.
Lagi. Rhea sendiri. Dilewatinya koridor sekolah yang mulai sepi sebelum langkah gadis itu terhenti pada sebuah bangunan.
Gadis itu menatap sendu cat yang mengelupas di sana. Ia ingat itu hasil kerjanya dengan Davka sebagai bentuk hukuman karena mengganggu pekerja. Disentuhnya dinding itu tepat pada cat yang sudah lepas.
"Kepingan-kepingan itu pada akhirnya akan mengelupas. Tapi bagaimanapun, tetap meninggalkan bekas, kan?"
***
Oke, sekian sedikit kalimat ini😁
Ekstra part udah kebayar kan😂Btw, aku mau iseng tanya.
Ada yg suka Om Chang Wook sm Om Joong Ki(SJK)?
Semoga kita bisa bertemu di lain cerita, sama Mak Umi juga tentunya wkwk
Love,
@lyndia_sari, UmiSlmhCentral Java, 06-03-19
KAMU SEDANG MEMBACA
Neglectus
Teen Fiction*Colaboration story by: lyndia_sari dan UmiSlmh **** Davka merasa hidupnya terombang-ambing, berjalan tanpa tahu arah tujuan, bahkan seperti sendiri dalam keramaian. Orang bilang Davka aneh, Davka bodoh, Davka tak berguna, Davka gila, dan anggapan-a...