14- Menebus Luka?

4.3K 476 60
                                        

"Terkadang, kupinta waktu untuk benar-benar berhenti. Membiarkan angin mengudarakan tubuh agar tak lagi kembali. Namun, semua luka itu? Dapatkah sembuh tanpa aku sendiri yang menebusnya?"

***

Kaki jenjang itu menuntun si empunya ke sebuah tempat. Terang, nyaman. Davka rasa, ia tak akan menolak jika harus di sana berlama-lama atau bahkan selamanya. Rasa bersalah yang selama ini menghantuinya seakan dibiarkan lepas detik itu. Ia egois. Menikmati semua ini dengan senyum merekah tanpa memedulikan orang lain. Tanpa peduli dengan semua yang menunggunya kembali.

"Davka...."

Lelaki itu berbalik saat sebuah suara lembut terdengar. Mengalun lambat, membuatnya terpaku. "Bunda...."

Wanita paruh baya itu tersenyum lembut. Merapatkan jarak antara keduanya dan menatap mata Davka, teduh.

Sosok itu. Davka benar-benar merindukannya. Ia berniat memeluk tubuh sang bunda, tapi tak dapat. Seakan sebuah tali nan semu mengikatnya di tempat. Tak sedikit pun membiarkannya bergerak.

"Davka kangen Bunda?"

Davka berniat mengangguk, tapi tak dapat. Wanita itu menangkup wajah putranya, meninggalkan kehangatan di setiap belaian yang diberikan.

"Tapi Davka nggak boleh tiba-tiba pergi gini." Sang bunda menurunkan tangannya dari wajah Davka. Beralih memegang bahu lelaki itu. "Ayah, Kak Devin, Ara, apa Davka udah ketemu mereka? Apa Davka udah ijin, hm?"

Davka hanya mampu menatap sepasang mata sang bunda. Mendengar semua tutur kata wanita yang telah melahirkannya itu.

"Davka pulang, nanti kita ketemu lagi, oke?" Sang bunda kembali menangkup wajah Davka. Tersenyum lembut ke arahnya.

Davka masih tak dapat berkata. Bahkan, saat lengan sang bunda melingkari tubuhnya, ia hanya dapat membeku. Membiarkan kehangatan dari pelukan sang bunda mengaliri darahnya.

"Bunda...." Dan saat lidahnya tak lagi kelu, semua hilang. Seolah angin lagi-lagi merampas kehangatan sang bunda seperti malam itu. Meninggalkannya sendiri untuk mengarungi kehidupan yang seharusnya.

***

"Ka, tipe x mana, tipe x?"

Rhea menoleh ke samping kiri. Sedikit tersentak saat menyadari kursi itu masih kosong sejak lima hari yang lalu. Ia menghela napas. Mencoret jawaban yang dirasanya salah dan kembali menuliskan jawaban di lembar lain.

Gadis itu menopang dagu, menggunakan sikunya sebagai tumpuan pada meja. Davka. Mengapa bayangan lelaki aneh itu terus saja mengganggu pikirnya? Mendesak selalu diingat untuk setiap waktu.

Lagi, Rhea menghela napasnya. Otaknya kembali memutar kejadian-kejadian konyol yang selalu ia alami bersama lelaki itu. Tiap kali Davka menunggunya di bawah pohon. Tiap kali Davka mengantarnya pulang. Bahkan kelakuan memalukan saat berperang cat dan berakhir dengan mengecat dinding sebagai hukuman.

"Re?" Rhea tersentak saat Zein menyikutnya. Gadis itu berkedip beberapa kali guna mengumpulkan kesadaran sebelum menatap lelaki yang berdiri di depannya itu.

"Lo nggak mau pulang?"

"Ha?" Kening gadis itu berkerut. Raut bingung terpampang jelas di wajahnya.

"Udah bel dari tadi, lo nggak dengar?" Zein merendahkan tubuhnya. Memajukan wajahnya, menatap raut bingung Rhea dengan kekehan kecil.

NeglectusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang