6- Bak Bidadari

4.4K 505 84
                                        

"Dia, tak pernah lebih dari bintang. Tampak kecil dan dekat tatkala dipandang. Namun, saat tanganku terulur untuk meraihnya, aku tak lagi dapat menghitung jarak itu."

***

Pagi itu, entah mengapa ada sedikitnya rasa lega saat teman sebangkunya itu melangkah memasuki kelas. Memamerkan deretan gigi yang tersusun rapi kepadanya. Rhea tersenyum singkat sebagai balasan dari senyuman lebar Davka.

"Kemana aja lo kemarin?" Rhea mengangkat sebelah alisnya sedangkan tangannya masih sibuk mencari buku di dalam tas.

"Kenapa emang? Lo kangen gue?" Davka menaik-turunkan alisnya. Membuat Rhea bergidik.

"Bukannya gitu," Rhea menjeda ucapannya saat buku yang ia cari berhasil ia temukan, "senang aja, gue bisa pulang dengan bawa peralatan sekolah lengkap," lanjutnya.

Davka menyengir. Tak suka jika Rhea menyangkutpautkan dirinya dalam hal itu. "Udah gue bilang, bukan gue yang ngambil."

Rhea memutar bola matanya. "Minggu ini, gue udah kehilangan penghapus warna orange, tutup pulpen, bulu topi, sama sampul Iron Man," adunya. Dengan sepasang mata yang kini terfokus pada tugas matematikanya.

Davka bangkit. Tanpa sepatah kata bahkan melirik Rhea pun tidak.

"Lo mau ke mana?" Rhea mendongok. Mencegah langkah Davka ke luar kelas.

Di ambang pintu, Davka berbalik. "WC. Mau ikut lo?"

Bibir Rhea terkatup. Panas menjalar ke kedua pipinya. Wajahnya mendadak memerah. "Sial! Malu-maluin aja lo, Re," umpatnya dalam hati.

***

"Goblok emang lo, Za!" Hampir seisi kelas kembali tertawa sedangkan Reza kembali berdecak tak suka.

"Hari ini tuh olah raganya senam lantai. Eh, lo malah bawa sepatu futsal. Nggak bawa pakaian renang sekalian?" Zein mencengkram perutnya yang mulai kaku. Akibat tertawa terbahak-bahak.

"Banyak bacot lo!" Dengan kesal, Reza kembali memasukkan sepatunya ke dalam tas. Awalnya, lelaki itu berniat memamerkan sepatu barunya, tapi karena waktu yang kurang tepat, alhasil ia menjadi bahan tertawaan seisi kelas.

Zein menggeleng-gelengkan kepalanya. Berusah meredam tawa sembari menepuk pundak lelaki itu keras-keras.

"Lucu lo emang." Reza mendelik selagi tangannya berhasil mengeluarkan kaos olah raga dari dalam tas.

"Ganti kuy!" Zein mengalungkan lengannya di leher temannya ini. Tak lupa melempar pandang ke arah Davka yang masih berdiam di bangkunya.

"Lo nggak ganti, Ka?" tanyanya.

"Gue nggak ikut olah raga."

"Kenapa?" Zein mengerutkan keningnya. Pasalnya, biasanya Davka yang paling semangat saat jam olah raga berlangsung.

"Sakit perut. Nggak enak buat guling-guling," jawabnya. Lelaki itu kini menelungkupkan kepalanya di atas meja.

"Mules?"

"Hm...." Davka bergumam tak jelas sebelum memutuskan memejamkan matanya.

"Dasar aneh lo," komentar Zein. Namun, Davka tak lagi ambil peduli. Membuat Zein yang merasa diabaikan berlalu ke luar kelas.

Davka mengembuskan napasnya kasar. Lelaki itu kembali membuka matanya saat dirasanya kelas telah sepi.

Ah, sial! Jujur, banyak hal yang ia benci dari dirinya sendiri. Banyak kejadian di luar nalar tak pernah dapat ia kendalikan. Termasuk saat ini, saat lagi-lagi sebuah benda menarik perhatiannya. Ia kembali gusar saat rasa itu tak lagi dapat ia netralkan. Beberpa kali Davka mencoba menahannya. Namun, kedua kakinya kini melangkah menuju bangku Reza. Membuka tas milik temannya itu kemudian menarik sebuah benda dari dalam sana.

NeglectusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang