13- Terbelenggu Sesal

4.3K 488 49
                                    

Apakah aku orang yang tidak tahu diri, hingga masih sudi menampakkan muka, setelah semua hal yang kubuat pada mereka?

***

Lelaki itu menjatuhkan diri di lantai rooftop rumah sakit. Duduk bertekuk lutut dengan kepala tertunduk dalam. Keringat mengucur deras di wajah, pun tangan yang mengepal di atas pangkuan.

Bercak darah di kaos putih yang ia kenakan menyadarkannya atas apa yang baru saja ia perbuat. Sebuah hal, yang kini ia akui sebagai kesalahan besar.

"Bangsat!"

Umpatan itu masih terngiang dalam benak Devin. Diiringi dengan erangan keras seseorang yang selama ini mengisi daftar paling atas orang yang ia benci.

Devin bergeming di tempat meski sepasang netranya dengan jelas melihat Davka terkapar tak berdaya. Ia biarkan orang yang tengah kesetanan menghabisi sang adik, meluapkan segala amarah.

Ada rasa yang tak bisa ia jabarkan dengan kata.

Benci, kasihan. Ia ingin diam menikmati bagaimana Davka disiksa, tapi di lubuk hati paling dalam seakan ada yang berbisik memintanya berlari lantas membantu sang adik.

Hingga pada detik di mana Davka kehilangan kesadaran dan orang yang memukulinya pergi, Devin perlahan melangkah mendekat, menuruti kata hati. Ia berlutut di samping Davka, memandang wajah penuh lebam sang adik tanpa ekspresi yang berarti.

Mengenaskan. Kiranya begitu yang bisa Devin simpulkan melihat kondisi Davka.

Tangannya terulur hendak menyentuh wajah sang adik. Namun, terhenti sebelum mencapai paras itu, menariknya kembali dengan gerakan cepat. Ia menggeleng kala mengingat bagaimana Davka menghancurkan kebahagiaannya. Melenyapkan kepercayaan yang dulu ia beri.

Devin berdiri, membalikkan tubuh, dan bersiap untuk pergi. Namun, suara Davka kala itu berhasil menghentikan kakinya yang baru sekali menjejakkan langkah.

"Kak, Kak Devin sayang Davka nggak?Kalo sayang, berarti Kak Devin harus bantuin Davka sekarang. Eh tapi, nggak sayang pun juga harus bantuin karena Bunda bilang, kalo orang baik itu harus tolong-menolong."

Devin ingat saat itu ia mengiyakan perkataan sang adik. Bahkan berjanji untuk selalu menemaninya setiap detik.

Lelaki itu memejam, berperang dengan perasaan yang berkecamuk dalam hati. Hingga akhirnya ia kembali berbalik, memangku kepala Davka dan mengelap darah di sekitar mulutnya dengan kaos yang ia gunakan.

Devin bergegas menggendong tubuh Davka dan membawanya ke rumah sakit. Hanya satu yang membuatnya berkenan melakukan hal itu. Sang Bunda yang kala itu memberinya nasihat untuk selalu menjaga adik-adiknya.

Tangan Devin yang terkepal memukul lantai rooftop dengan keras. Ada sebuah rasa sesal yang tiba-tiba menyambangi hatinya. Harusnya ia membiarkan Davka, harusnya ia pergi tanpa peduli.

"Goblok," maki Devin pada dirinya sendiri. Lagi, ia memukul-mukul lantai melampiaskan emosi, hingga berhenti kala hatinya sedikit merasa puas. Lelaki itu terduduk, membiarkan embusan kencang angin mengeringkan peluh yang membanjiri wajah. Menjadi saksi bagaimana seorang Devin menyesali perbuatannya.

***

Firman selalu menyayangi Davka meski tak memiliki ikatan darah dengannya.

Anak angkat. Bahkan status itu enggan ia sematkan pada seseorang yang kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Tampak mengerikan dengan wajah berhias luka.

NeglectusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang