17- Memories

4.2K 470 44
                                    

"Kalaupun ada serpihan sejarah nan indah. Agaknya dua wanita itu yang tergores oleh penaku."

***

Kemarin adalah sejarah. Jika benar berbunyi demikian, agaknya Davka punya satu keping peristiwa yang indah diingat. Terselip di antara lara yang selama ini ia rasa. Sepotong percakapan kecil pengakuannya dengan gadis itu kemarin sore.

Lelaki itu menangkap aroma sedap malam yang menguar. Menikmatinya cukup lama sebelum melukis senyum. Ah, sepertinya ia harus sedikit mengubah pemikiran. Nyatanya, tak hanya Rhea yang akan menjadi sejarah terindah. Namun, sosok sang bunda bahkan terlebih dahulu tercatat sebagai kenangan yang tak pernah dilupa.

Davka kembali melajukan mobilnya usai membeli bunga. Ada rasa senang yang mendorongnya untuk bertemu seseorang. Detik itu pula jikalau dapat. Lelaki itu berhenti di sebuah pemakaman umum. Keluar dari mobilnya dan merapikan kemaja yang dikenakannya.

"Anak Bunda harus ganteng, kan ya Bun?" Davka terkekeh pelan. Mengambil langkah ringan, berjalan di antara gundukan tanah di sana.

"Bun, Davka datang." Lelaki itu menghentikan langkah di sebuah pusara. Merendahkan tubuh, berjongkok di samping batu nisan bertuliskan nama sang bunda.

Davka menghela napas. Meletakkan seikat sedap malam di sana kemudian tersenyum tipis. "Davka lagi senang, Bun. Tapi sedih juga. Bunda mau dengar yang senang dulu, apa yang sedih dulu?"

Hanya suara gesekan daun terdengar. Selagi embun di rumput diam-diam meredam bunyi saat jatuh dari ujung.

"Bunda ingat nggak? Dulu Kak Devin pernah dimarahin Ayah karena ketahuan pacaran," senyum lebar terbias di raut tampan itu, "padahal pas itu Kak Devin lagi kelas sembilan." Lelaki itu terkekeh pelan.

"Kata Ayah, harusnya anak sekolah fokus ke pelajaran. Nggak boleh macam-macam. Nggak boleh cinta-cintaan. Tapi Davka...." Sudut bibir lelaki itu melengkung ke atas. Kala sketsa wajah gadis itu memenuhi ruang pikirnya. Davka menggeleng. Menepis khayalnya yang kian berkelana.

"Davka kemalingan, Bun. Ada cewek nakal yang nyuri hati Davka. Kayaknya Rhea dendam karena Davka sering nyuri barang-barangnya." Lagi, lelaki itu terkekeh. Hatinya menghangat seketika. Ia dicuri, tapi tak merasa kehilangan.

"Dia ceweknya aneh, Bun. Tapi Davka suka. Udah, itu aja alasannya." Davka mengusap batu nisan sang bunda. Membersihkannya dari sisa hujan malam tadi.

"Tapi most wanted juga sih. Dan kalau Davka berharapnya nggak ketinggian, kayaknya Rhea juga tertarik sama Davka," pandangan lelaki itu berubah sendu, "gimana dong?" Davka memainkan rumput di sekitar makam itu.

"Padahal Davka kangen Bunda juga. Davka nggak pernah tahu berapa lama sisa waktu Davka. Dan mungkin nggak akan cukup buat Rhea." Lelaki itu menunduk. Selagi netranya mulai berkaca-kaca, sesak dalam dadanya kini turut menerpa.

"Harusnya Davka nggak mulai kan, Bun?" Davka tersenyum getir.

"Tapi mau gimana lagi? Udah terlanjur," lelaki itu menghela napas, "anak Bunda yang ini egois, kan?"

Hening. Davka tak lagi berkata apa-apa. Hanya bayang wajah gadis itu kini terpampang di benaknya. Menariknya untuk terus larut dalam fatamorgana.

"Kak Davka...."

Tersentak. Tubuh Davka seketika menegang ketika suara itu terdengar. Suara kecil yang mengalun lambat. Merambat ke pendengarannya hingga menyentil rindu yang kini menggebu. Perlahan, lelaki itu membalikkan badan. Menghadap seorang pemilik suara itu.

NeglectusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang