2 | Memori Lama

1.1K 37 2
                                    

Mendung itu begitu pekat. Para awan berkumpul menjadi satu. Langit biru tak lagi terlihat. Semua aku rekam dalam kepala. Siklus hujan yang turun.

Hujan. Banyak yang membencinya, banyak pula yang mencintainya.

Hujan turun. Di saat hatiku mendung. Ia membuatku semakin sendu, sepi, meski kawanan air itu turun ribut dan sesekali menyampaikan marahnya lewat kilat yang mengejutkan.

Dulu, aku teramat takut dengan petir. Suaranya yang datang tak memberi aba-aba. Membuat jantung berdegup tak karuan dan menutup telinga kuat-kuat. Menangis dalam dekapan Bunda. Aku tak menyukainya. Namun aku suka dinginnya. Ia membekukan kecewa. Ia membuat memori tentang Bunda berputar. Dan ia membuatku mencintainya, dan perlahan aku melupakan amarahnya yang menyambar.

Orang bilang, hujan itu kenangan. Entah siapa yang mengatakannya, tapi aku membenarkannya. Hujan. Bagiku hujan adalah pengingat waktu, pelukis memori, serta penenang.

Ia mengingatkanku, jika Ayah meninggalkanku dan Bunda ketika hujan, dan Bunda kembali saat hujan. Hujan memang menjadi duka waktu itu. Namun memori indah yang terukir menghilangkan duka yang terlibat.

Aku mungkin sempat membencinya, tapi aku kemudian mengerti. Bahwa langit seperti kita yang perlu menumpahkan kesedihannya, marahnya lewat hujan yang ia turunkan.

Walau Ayah meninggalkan kami. Berdua di rumah dan lebih memilih isteri barunya dibanding kami. Aku tak bisa berkata banyak. Hanya mengatakan, "Sampai jumpa, Ayah." Dengan air mata berderai dan Bunda memeluk bahuku, menatap kepergian seorang pria yang selalu ku nanti sepulang sekolah.

Selalu aku bertanya pada Bunda, kapan Ayah pulang. Namun semenjak Ayah menghapus jejak kepergiannya, bersama isterinya yang baru, aku tak lagi menanyakannya. Karena aku tahu, Bunda terluka. Membesarkanku sendirian, hingga sempat aku menangkap suara Bunda menangis. Aku hanya bisa duduk bersandar di depan pintu kamar Bunda.

Hujan yang turun bersama kilat, tak lagi aku benci. Sebab Bunda tidak bisa memelukku lagi, menenangkanku lagi. Karena esok harinya, Bunda ... dipanggil Tuhan.

Hujan memang duka. Ia disalahkan. Turunnya membuat pekerjaan orang-orang terhambat, membuat mereka yang menyukai senja tak dapat melihat senjanya, membuat mereka yang tak tahan dinginnya menjadi sakit.

Namun aku berusaha menyukainya, mengaguminya. Dengan rinainya, ia menutupi tangisku. Memudarkan sakit dengan dinginnya.

Sentuhan lembut di kepalaku memudarkan lamunan. Aku menoleh ke samping, Papa Fandy. Dia adalah adik dari Ayah. Semenjak Bunda dipanggil Tuhan, aku tinggal bersamanya dan isteri, serta anaknya yang dua tahun di bawahku.

Senyuman kuukir perlahan. "Yuk, makan. Mama bikin masakan kesukaan kamu."

Aku mengangguk. Bangkit dari duduk, mengekor Papa Fandy. Aku memang memanggil Om dan Tante itu Papa dan Mama. Kebiasaan dari kecil sebenarnya dan berlanjut sampai sekarang. Beruntung mereka malah senang mendengarnya, terutama Lita anak mereka yang tidak mengapa jika kedua orang tuanya kupanggil Papa dan Mama oleh sepupunya.

Tersaji di meja makan. Ayam goreng dengan sambal yang tak tertinggal. Aku melebarkan senyuman. Segera mencomot, tapi tertahan oleh Lita yang menegur. "Cuci tangan dulu, Tha."

Aku cemberut, dia dan yang lain malah tertawa. Aku bergegas ke wastafel. Mencuci sebersih mungkin sebelum anak kecil itu kembali mengomentari.

Lita. Dia memang dua tahun di bawahku. Namun aku membiarkan jika dia memanggil tanpa embel-embel 'Kak'. Sifatnya pun jauh lebih dewasa dibanding aku. Mungkin karena Bunda kerap memanjakanku dan sampai terbawa ke sini. Aku malah merasa menjadi anak paling kecil daripada Lita. Anak gadis itu memang mengajarkan banyak hal.

Terkadang ..., aku merasa rindu pada sosok yang kupanggil Ayah. Entah dia sekarang telah bahagia dan benar-benar melupakan kami atau tidak.

Memori waktu kecil masih tersimpan. Walau mungkin ada bagian yang terhapus atau malah terlupakan. Banyak rinaiku yang turun saat itu bersama hujan. Dan mungkin sebagian kenangan juga ikut luruh dengan hujanku waktu itu.

Hm .... Ya, adakalanya kita lelah menunjukkan semua baik-baik saja. Diam di sudut ruangan, bertanya-tanya, jika suatu hari Ayah tanpa kabar datang di hadapanku. Dan di detik itu juga memori lama tentangnya yang meninggalkanku dan Bunda, tentang Bunda yang menangis sendirian karenanya, tentang Bunda yang tak lagi bisa memelukku, tentang dia yang menjadi alasan Bunda pulang.

Aku tidak tahu.

Apa aku akan memeluknya erat atau malah ..., menatap sepasang mata pria itu dengan terluka?

•••

Aku tak mengerti ini apa.
Seharusnya judul ini di bab pertama, sayang, belum selesai.
-

Rainyshaa


Aksara HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang