10 | Biru Langit

139 8 0
                                    

Saat masih kecil, pernah terpikir aku ingin menjadi pelukis. Alasannya sederhana, hanya karena aku suka mencoret-coret iseng buku tulisku dengan guratan pensil.

Aku akan bersemangat ketika guru seni budaya menyuruh kami menggambar dengan tema bebas. Maka mataku akan berbinar-binar cerah. Dengan lincah tangan kanan ku menarikan pensil. Membentuk apa saja yang singgah ke hati maupun pikiran.

Dan tugas itu berakhir disuruh lanjutkan di rumah.

Kesulitanku dalam menggambar itu hanya satu, yaitu warna. Namun menjadi mudah saat Ayah dengan sigap membantuku yang sedang bingung memilih warna.

Omong-omong tentang warna. Aku tidak tahu kenapa begitu menyukai hitam dan biru langit. Jadi, aku hampir selalu melibatkan Ayah dalam pemilihan warna. Karena aku tahu, warna yang aku pilih akan berujung menjadi hitam dan biru langit. Jangan terkejut bila aku lebih sering menggambar laut, hutan dan langit ketimbang yang lain.

Jika kau bertanya, jawabannya kembali pada warna kesukaanku sejak kecil.

Impian menjadi pelukis sudah terkubur sejak lama, tetapi kembali bangkit waktu aku menginjakkan kaki di SMA. Sangat menarik.

Ketika hujan diam-diam membasahi bumi bagianku, sampai akhirnya ia tak lagi bersembunyi. Beberapa murid di kelas memilih tidur dan sisanya sibuk dengan ponsel atau malah bosan dan menciptakan permainan sendiri dengan temannya. Berhubung sedang jam kosong. Aku memilih menenggelamkan diri melalui buku gambar dan pewarnanya yang nyaris tak pernah tertinggal dibawa.

Krayon dengan warna lengkap aku keluarkan. Krayon biru langit hingga mencapai hitam, berjejer aku keluarkan dari tempatnya.

Tanpa pensil terlebih dahulu. Langsung kugoreskan ke kertas putih. Pikiranku telah tenggelam dalam alunan juga dinginnya hujan. Telingaku seakan menuli dengan suara-suara ribut teman-teman sekelas. Aku terlalu sibuk. Terlalu tidak peduli. Terlalu tidak peka. Hingga aku menitikkan sedikit warna putih di tengah kegelapan yang baru saja tercipta. Diri ini tersentak, tarian tanganku pada buku gambar melambat sampai akhirnya terhenti.

"Caramu menggabungkan warna itu mengagumkan."

Aku tidak menggubris. Memilih melanjutkan sedikit lagi. Menambahkan hitam legam di pinggirannya.

"Asyik banget, sih, kamu dengar kan?"

Mulutku masih bungkam. Tak berniat sama sekali membuka kuncian mulut.

"Jawab bisa, kan?"

Bel pulang berbunyi nyaring. Bertepatan dengan tanganku berhenti memekatkan warna legam. Aku hampir menganga. Hanya karena lelaki usil yang kini—mungkin sudah kesal karena aku tidak menyahutinya sama sekali. Dia beranjak dari duduk di bangku sebelahku yang kosong. Hitam itu benar-benar mendominasi, biru langit masih terlihat, setitik putih menjadi samar.

Bergegas aku merapikan semua yang berhamburan di meja. Teman sebangkuku bahkan sudah keluar kelas lebih dulu. Aku mengembuskan napas menenangkan diri. Mencoba meyakinkan, bahwa sendiri saja itu bukanlah hal buruk karena tak selamanya kita hidup bersama orang lain, meski manusia adalah makhluk sosial.

Aku akui, ini sedikit mengganggu pikiranku. Namun tak ada gunanya memikirkan, hal yang sudah sangat biasa terjadi sedari kecil. Tak perlu diresahkan.

Setelah semua masuk ke dalam tas. Aku keluar memasang sepatu. Aku hampir frustasi. Namun sekali lagi. Aku mencoba tidak peduli. Berjalan lebih cepat. Tujuanku sekarang hanya satu; pulang.

*•~•*

Aku menghampiri Mama untuk makan malam. Dengan sedikit berusaha mengabaikan hati yang tak nyaman. Aku memakan masakan Mama, lahap karena lapar.

"Ra, masih menggambar?" Cukup jelas terdengar, Mama bertanya hati-hati.

Menggambar di sini maksudnya sederhana. Aku bukan pelukis di luar sana yang melukis dengan cat air. Aku hanya seorang Nara. Nara yang begitu suka mencampurkan warna-warna krayonnya di atas kertas putih. Yang lebih suka menggabungkan warna abstrak tanpa sebelumnya mengguratkan pensil. Jadi, Mama memilih kosa kata menggambar. Entah apa alasannya. Aku sendiri tidak tahu.

Kepalaku perlahan mengangguk. Makanan yang tinggal setengah piring seakan rasanya yang lezat menjadi hambar. Aku menangkap hawa yang tak nyaman.

Aku lirik Mama dari ekor mataku. Pancaran netranya terlihat jelas ingin mengatakan sesuatu, hingga kalimat itu benar-benar berhasil meluncur keluar. "Mama mohon, kamu harus menghentikan hobi itu."

Susah payah aku menelan makanan di dalam mulut. Batinku terasa perih. Aku bertanya, "Kenapa?" Dengan suara yang kuyakini bergetar.

"Karena itu ... nggak ada gunanya. Nara cuman ngebuang waktu. Sementara suatu saat nanti, hal itu mungkin ...."

Kalimat Mama terpotong. Penyebabnya adalah aku. Aku tahu aku tidak sopan sudah mengangkat piring sedikit, lalu menghentakkannya ke meja. Tidak pecah. Akan tetapi, suaranya cukup membuat memekakkan telinga. Terpotret dalam netra, Mama tersentak, matanya menatap tajam, wajahnya hampir merah ingin meledak. Sebelum aku mendengar Mama membentak, marah, berkata kasar dan lainnya. Aku bergegas menutup telinga. Bangkit dari duduk dan setengah berlari menuju kamar.

Perlahan. Isakanku beradu dengan suara hujan lebat di luar sana. Aku menangis. Aku tahu Mama tak menyukaiku menggambar karena Ayah. Aku menangis karena Mama tidak mendukungku. Aku marah karena bersikap di luar kendali di hadapan Mama. Aku menangis dan marah karena suasana hatiku sudah kacau semenjak pulang sekolah, dan tambah kacau sebab diri ini yang masih begitu labil. Aku memeluk lutut erat. Benar-benar marah pada diri sendiri karena telah  mengecewakan Ayah, melanggar janji dan tak bisa menjaga perasaan Mama.

Aku teramat kacau. Semua benda di sekitarku, aku lempar. Namun aku masih sangat sadar untuk memecahkan kaca, membanting figura yang ada kacanya.

Dan hujan di luar rumah, masih bertahan turun bersama hujan di dalam rumah.

*•~•*

Adzan subuh berkumandang. Aku berusaha mengumpulkan energi untuk bangun. Tertidur karena lelah menangis itu menjengkelkan. Sebelum itu, aku harus membereskan kamar yang bisa dibilang hancur, tapi tidak lebur.

Batin, pikiran, fisikku lebih tenang setelah shalat dan membaca al-qur'an.

Terus kutanamkan dalam pikiran. Jika Mama hanya takut. Takut sesuatu kembali terjadi pada orang yang disayangnya. Setelah suatu kejadian menimpa Ayah. Mama menyimpan semua alat lukis Ayah di gudang. Meski awalnya Mama juga ingin mengambil krayon dan buku gambarku, aku segera menepis dengan mengatakan, jika itu masih berguna kalau ada tugas mewarna di sekolah. Jadi, Mama membiarkan.

Namun hanya karena kepergian Ayah, Mama tak seharusnya begini. Aku tahu Mama sangat mencintai Ayah, takut kehilangannya. Jadi, untuk melupakan, Mama berusaha menyingkirkan semua yang menyangkut Ayah.

Aku tak bisa menuruti permintaan Mama untuk berhenti menggambar. Nyatanya itu satu-satunya hobi yang melampiaskan emosi. Biar kuperjelas, itu hanya sekadar hobi. Tidak lebih. Lagi pula, sebenarnya aku hanya mewarna asal dengan krayon. Dan aku punya cita-cita sendiri yang tentunya, kupikir jauh lebih baik dan jika Mama tahu, ia akan bangga. Hanya pemikiranku saja sebenarnya.

Jadi, aku hanya bisa belajar seperti biasa. Jika luang kembali dengan krayon dan kertas putih, lalu membantu pekerjaan Mama di rumah saat tugas bisa aku kepinggirkan jika tenggat waktu pengumpulannya masih lama. Dan pastinya menyibukkan diri terus belajar tentang Islam. Diam-diam berharap, suatu saat bisa benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya.

*~•~*

Alasanku begitu menyukai biru langit itu sederhana. Warna yang orang-orang menyebutnya biru tua. Jika kalian mengira biru langit itu maksudnya biru muda, warna biru saat pagi hingga siang, maka salah besar. Biru langit maksudku adalah saat malam hari. Warnanya yang menurutku cenderung hampir gelap, pekat, dan bermakna sepi, sunyi, kesendirian, membuatku memasukkan warna itu ke favorit.

•••

Alih-alih biru langit,
aku lebih menyukai hitam.

-Rainyshaa

Aksara HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang