Ada ragu yang menyelinap masuk. Diam-diam. Mata Ula menyipit kala seekor kupu-kupu terbang di halaman rumahnya. Dia hanya bisa menatap lewat kaca jendela.
Entah sejak kapan Ula menyukai serangga itu. Sayapnya indah dengan berbagai corak. Ula juga ingin memiliki sayap seperti itu. Meski di lemari pakaian ada baju sepasang dengan sayap, tetapi sayap itu tak mampu membuatnya terbang ke sana ke mari seperti kupu-kupu.
Ula cemberut. Kala gorden ditutup memaksa Ula harus beranjak dari tempatnya. Bibirnya semakin manyun melihat Kaila—sang Kakak menyuruhnya makan.
Semua hangat. Termasuk lauk kesukaannya. Ayam krispi. Itu memang terlalu sederhana. Namun bagi Ula, makanan apapun yang diciptakan dari tangan terampil Kaila, selalu lezat. Bahkan jika hanya telur dadar dan sepiring nasi.
Kaila membuka percakapan beku di ruang makan. "Apa yang kaulihat di luar?"
Ula tahu jika Kaila berbasa-basi. Tidak penting. Namun Ula berusaha menghargai Kaila. Sebagai satu-satunya anggota keluarganya untuk saat ini. Dia pun tahu, Kaila pun sudah semaksimal mungkin membuat rumah ini kembali hangat, setelah kebekuan menyelimuti kehangatan.
"Kupu-kupu."
"Kenapa dengan kupu-kupu?"
Ula menelan makanan di mulutnya, menjeda jawaban. "Ula cuma menyukainya. Sayapnya yang indah. Yang kata orang jika ada kupu-kupu datang, berarti akan ada tamu."
Tepat ketika Ula menyudahi ucapannya dengan titik. Seseorang mengucap salam dari luar, tak lupa mengetuk pintu. Kaila mengangguk menyahut Ula, ia bangkit ingin memeriksa siapa yang datang.
Perlahan Kaila membuka pintu. Tangan kirinya yang bebas tiba-tiba digelayuti anak kecil. Saat melirik, dalam hati Kaila berucap, 'Dasar Ula'.
Netra Kaila beradu dengan tamu. "Kai," panggil orang itu dengan nada kerinduan. Kaila mengerjapkan mata. Takut jika ia salah lihat. Namun setelah memastikan benar, ia langsung memeluk erat lelaki yang masih setia berdiri di depan rumah.
Ula menyipit. Membisu. Dia seorang anak kecil di sini. Baru berumur 7 tahun. Tanpa aba ia mengikuti Kaila. Ikut memeluk lelaki yang tak ia ketahui itu. Lelaki itu terkekeh. Tangannya mengusap kepala Ula.
"Apa kabar manis?" tanyanya. Ula tak menanggapi ia melempar tanya pada Kaila lewat tatapan.
"Alhamdulillah, Kak. Kami baik."
"Jadi, apa Kakak boleh masuk?"
Kaila tertawa kecil seraya mengangguk. Dia segera menarik Ula ke dalam. Sebelum adiknya itu menjelajahi depan rumah mencari hewan kecil yang terbang.
Vian. Anak pertama di keluarga ini pulang. Mampu perlahan memecah beku rumah. Meski canggung masih terasa karena terakhir kali Vian ada di sini saat Ula masih 3 tahun. Empat tahun, waktu yang cukup lama. Dan Ula tak mengingatnya.
🌂🐝🌂
Pagi. Hawa dingin menyerbu masuk bersama kawanan air.
Ula terduduk diam dengan tangan mungilnya sibuk mencoret kertas putih. Dengan berbagai warna kesukaan. Kaila di sofa menggonta-ganti channel televisi, mencari yang menyenangkan.
Hujan turun lebat membuat Kaila harus meliburkan diri dari sekolah. Begitupula dengan Ula. Sesekali matanya mengawasi Ula. Takut adiknya itu akan beranjak tiba-tiba tanpa ia ketahui. Setakut itu Kaila.
"Ula, mau susu, Dek?"
Ula mengangkat kepalanya sebentar, menghentikan aksinya menggambar. Tatapannya lama pada gelas kaca yang dibawa Vian. Cokelat. Ula lebih suka vanila. Entah dari mana Vian mendapatkan susu cokelat itu. Jadi, Ula tak menghiraukan lagi. Ia lebih memilih melanjutkan gambaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Hujan
Short Story[Completed] Ini hanya kumpulan kisah. Saat jenuh telah menguasai dan hujan membenamkan wajah di tengah dinginnya. Awal di-publish pada : 25 Nov 2018 Copyright© 2018, by Rainyshaa