9 | Kangen

187 7 0
                                    

Tawa canda itu melekat jelas
Dengan mata saling melirik
Mampu menghilangkan lelah seharian
Bersama tawa menggema di atmosfer

Namun kini
Seakan waktu menginginkan momen tawa itu
Terjadi hanya dalam hitungan menit

*~•~*

Ingin rasanya. Pelita menahan tubuh itu agar tidak menjauh. Agar tidak pergi.

Pelita hanya bisa terduduk lemas di ambal. Menatap punggung yang selalu bisa membuat dirinya kembali itu menjauh.

Penat. Pelita lelah. Namun saat liburan telah tiba. Bukannya ia bisa memberikan istirahat pada tubuh dan pikirannya. Kini, ia malah tak dapat melakukannya. Gadis itu ingin berucap, tapi tertahankan.

Salahkah, jika Pelita hendak kebersamaan itu kembali?

*~•~*

Pagi begitu hangat. Matahari menampakkan sinarnya. Pelita bergegas keluar kamar. Didapatinya semua orang telah siap di meja makan. Dia duduk di sebelah Kirana.

"Ta, habis ini siap-siap, kita jalan." Ayah mengatakan dengan tenang, lalu kembali melahap masakan buatan Mama yang selalu enak.

Pelita mengangguk senang. Disanduknya nasi dan telur mata sapi. Setelah berdoa, Pelita memakannya.

Seperti biasa. Selalu ada momen hangat di meja makan. Mama yang bercerita tentang apa pun pada Ayah, lalu Ayah yang menyuruh Pelita ataupun Kirana untuk mengurangi volume televisi, dan berakhir Pelita dan Kirana yang saling tatap, setelah itu mereka tertawa seolah yang mereka pikirkan itu sama.

Apa pun. Selalu ada. Ketika semua sudah siap di dalam mobil. Cerita-cerita bergulir hangat. Suasana di luar, apa pun, dapat menjadi topik. Entah membuat para perempuan kesal dan sang Ayah yang satu-satunya laki-laki berusaha menenangkan. Tawa canda itu selalu ada. Kekesalan itu selalu ada. Namun tak bisa mengubah suatu pernyataan, bahwa mereka kini tengah bersama, berkumpul sekeluarga.

Siapa yang tidak menginginkannya?

Setiap liburan. Bepergian bersama, meski tidak setiap hari, tetapi Ayah selalu punya rencana hebat di setiap waktu. Hingga hari telah usai, matahari terbenam sempurna di ufuk barat. Dengan jingga yang perlahan memudar, mega yang berarak ringan. Lukisan warna itu tergantikan dengan perpaduan ungu dan merah muda.

*~•~*

Pagi begitu dingin. Musim hujan benar-benar terjadi sekarang. Hujan turun dengan lebat, membawa kebekuan yang membuat siapapun enggan beranjak dari kasur.

Pelita mengucek matanya. Dia sudah mandi, tetapi masih mengantuk dan sesekali bergidik dingin. Kakinya tanpa alas menapak lantai yang ikut-ikutan menyerap dingin. Pelita melangkah ke ruang makan, Kirana belum ada di sana. Dia tetap duduk di tempat biasa, di kursi bersebelahan dengan Kirana. Gadis itu akhirnya datang dengan binar seperti biasa, cerah.

Seperti pagi-pagi biasanya. Seperti waktu-waktu makan biasanya. Mama selalu punya cerita, entah dari kantornya ataupun tetangga yang tak sengaja ia lihat di kala malam menjelang. Dan Ayah akan menyuruh salah satu anaknya mengurangi volume televisi. Lalu, Kirana dan Pelita akan saling tatap, tertawa kecil seakan pikiran mereka terhubung sama.

Tak ada yang menarik di bulan ini. Akhir-akhir ini. Semua orang sibuk sendiri. Jadi, Pelita hanya diam di rumah. Menyuci piring dan membersihkan kamar. Sisa waktunya hanya ia gunakan menonton televisi jika ada yang seru, berselancar di dunia maya, dan berakhir tidur setelah shalat dzuhur.

Setelah semua selesai sarapan. Mama keluar kamar dengan baju kerjanya, dan Pelita akan memeluk dari belakang, setelah itu mencium pipi mamanya. Pelita memang sudah SMA, tetapi seorang anak tetap terlihat manja di depan orang tuanya. Dan terakhir, Kirana pun sama rapinya dengan Mama dan Ayah. Karena musim hujan, Kirana yang biasanya berangkat sendiri dengan motor, kini diantar Ayah bersama Mama.

Membosankan.

Pelita duduk bersandar di sofa di depan televisi. Tak ada yang menyenangkan. Semua lenyap. Kebersamaan itu hanya ada dalam hitungan menit. Di saat liburan seperti ini, semua orang tetap bekerja. Entah kenapa tak ada waktu. Bahkan di hari Minggu, Pelita ingin jalan dengan kakaknya itu—Kirana, hanya bisa diam seraya melambaikan tangan pada Kirana yang jalan-jalan dengan temannya.

Pelita harus bagaimana?

Kangen?

Pelita selalu merindukan kebersamaan mereka. Kalau pun pergi, bersama, hanya hitungan menit, paling tidak satu jam. Mau bagaimana, semua orang pulang malam. Makan malam bersama sebentar, lalu tidur.

*~•~*

Salahkah, jika Pelita merindukan kebersamaan itu?

Tak ada yang lebih menyenangkan dari keluarga berkumpul. Tak ada yang lebih menyenangkan dari Kirana yang mengantar jemputnya sekolah. Tak ada yang lebih menyenangkan dari Kirana yang menjahilinya. Tak ada yang lebih menyenangkan dari aroma masakan Mama di dapur. Tak ada yang lebih menyenangkan dari gurauan Ayah.

Sekarang, semua berubah. Pelita ke sekolah sendiri, tak lagi dengan Kirana. Kirana masih sering berbuat jenaka, tetapi hanya sebentar. Mama sudah sangat jarang memasak, di ujung hari hanya ada Mama curhat mengenai lelahnya yang tidak ada habisnya. Hingga terkadang membuat Pelita muak atau menutup telinga diam-diam. Dan Ayah. Hanya lebih sibuk. Ayah masih tak terlalu berbeda, masih sering ada nada tinggi dalam ucapannya, masih sering ada nada lelah, dan masih ada gurauan walau semua itu akan menguap ke udara.

Pelita meringkuk di sofa. Memeluk bantal kesayangan. Perlahan. Hujan di luar sana ikut turun di dalam rumah.

Bibir Pelita bergumam lirih, "Pelita kangen."

•••

Telat banget.
-Rainyshaa

Aksara HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang