15 | Dua Pelukan yang Hilang

86 6 0
                                    

Malam itu begitu hangat. Sehangat pelukan Mama yang tak hentinya menenangkan Kiki. Kiki yang menangis. Menangis hebat. Semua karena Lani. Sahabatnya.

Tadi sore Lani datang ke rumah. Dengan sekotak kado yang membuat Kiki bingung. Pasalnya, hari ulang tahun Kiki sudah berlalu. Kiki yakin Lani masih ingat. Mengingat Lani memberi kejutan berkompolotan dengan Mama Kiki dan mamanya.

Senyuman Lani di ambang pintu begitu lebar. Namun entah kenapa membuat perasaan Kiki tak karuan. Seakan tahu itu adalah senyuman terakhir Lani yang akan Kiki lihat langsung.

"Ini buat Kiki."

Kiki tak langsung menerimanya, masih bingung sendiri. "Emang ada apa hari ini?"

Lani menggeleng. Ia memaksa Kiki mengambil. Setelah kotak kado itu berhasil berpindah tangan. Tanpa satu kata lagi yang Lani keluarkan. Lani berlari ke seberang, di mana rumahnya berada. Dan mata Kiki terpaku pada rumah di seberang. Mobil Lani telah terparkir di pinggir jalan, bersama satu mobil lain yang biasanya digunakan untuk mengangkut barang. Koper berserakan di halaman rumah Lani. Koper besar. Seolah Lani akan pergi lama. Sangat lama. Hingga semua yang di halaman bersih, Lani melambaikan tangan pada Kiki. Kiki tak membalas. Masih tak percaya dengan kejadian tadi.

"Kiki sayang. Ayo, makan."

Mama memanggil. Namun kaki Kiki tak juga beranjak. Sampai senja yang selalu dikagumi Lani menghilang. Menyisakan gelap yang menyesakkan. Dan saat Mama akhirnya datang bertanya. Kiki hanya bisa menangis. Mama yang mengerti, tahu jika anaknya telah kehilangan seorang sahabat, memeluk Kiki erat. Sampai isakan Kiki begitu nyaring. Mengalahkan hujan yang perlahan-lahan turun melebat.

☁☁☁

Setelah Mama membawa Kiki masuk. Mengajak Kiki makan. Kiki tak mau makan. Menggelengkan kepala dengan isakan yang tersisa. Kotak kado yang diberikan Lani dipeluk Kiki erat.

"Kiki mau tidur?" tanya Mama, tangannya menyelipkan rambut panjang Kiki ke belakang telinga.

Kiki mengangguk.

"Minum susu ya?" pinta Mama.

Kiki menggeleng. Ia tidak lapar. Tak nafsu sama sekali.

Mama menghela napas. "Yaudah, ayuk."

Kiki merebahkan tubuhnya di kasur. Kotak kado pemberian Lani masih dalam pelukan. Setelah Mama mengganti lampu utama dengan lampu tidur, Mama keluar, menutup pintu kamarnya. Kiki duduk, bersandar pada dinding di kanannya. Membuka kotak kado perlahan. Sebuah gelang cantik, dengan gemerincingan bentuk bintang bulan. Terdapat inisial namanya di sana.

Kiki tersenyum getir. Ada sepucuk surat yang terselip.

Hai, Kiki!

Maaf. Aku gak bermaksud gak bilang sebelumnya. Aku cuman gamau bikin kamu sedih. Walau mungkin kalau aku bilang lebih dulu justru membuatmu makin sedih.

Aku cuma gatau cara bilangnya.

Maaf, aku udah ngingkarin janji. Tapi pada dasarnya semua manusia akan sendiri kan?

Ki, nanti, entah kapan. Kita pasti ketemu lagi. Aku gak berjanji karena takut kembali mengingkari.

Dipakai, ya, gelangnya. Biar nanti kalau mukamu berubah, aku tinggal mengenalimu lewat gelang itu. Tenang, aku juga memakai gelang yang sama. Supaya kamu maupun aku merasa masih di sisi satu sama lain.

Gak ada hal yang gak pantas buat ditangisi. Aku gak larang kamu nangis. Tapi, Ki, tolong, tetaplah bahagia. Bagaimanapun caranya. Gak perlu setiap saat. Karena menangis pun dapat membuatmu merasa lebih baik.

Kirimi aku pesan. Aku akan membalas kapanpun.

Love,

Lani

☁☁☁

Esok pagi. Ketika Kiki membuka mata untuk pertama kali setelah Lani tak ada di dekatnya.

Sebuah kabar mengejutkan datang dikirim Tuhan.

Mama telah pergi.

Tepat saat Kiki mencari ke kamarnya.

Mama pergi.

Dan tak akan kembali.

Dua pelukan hangatnya hilang dalam dua waktu berbeda.

•••

Aku hampir kehabisan kisah.

-Rainyshaa

Aksara HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang