17 | Bunga Tidur

91 5 0
                                    

Langkah itu begitu berat. Harapan dan usaha telah melambung tinggi. Namun lagi, ia gagal.

Sesuatu yang ingin dibuktikannya dari dulu. Hancur. Membuatnya tak lagi bersemangat. Diam itu begitu menyakitkan, dan kalimat singkat itu begitu menusuk.

Tania menatap rumah di depannya. Matanya mulai memburam lagi karena air berkumpul ke permukaan. Tania tak siap pulang. Deretan kalimat yang selalu terlontar, dapat membuat Tania down berkali-kali. Tak ada yang bisa dibuktikan. Apa ia sudah terlanjur menjadi anak pemalas?

Dengan setengah hati ia melangkahkan kaki. Membuka pelan pintu, lantas mengucapkan salam. Iris matanya menangkap mereka ada di ruang tengah. Tania menunduk. Ia mengusap lengan kanannya. Dalam diam ia kembali menangis.

Sang mama melihat pemandangan itu. Dengan bingung, Tania berhenti. Mama memeluknya, tidak seperti biasanya.

"Hey, jangan nangis. Nanti coba lagi, oke? Mungkin ini belum waktunya Tania berhasil. Tapi buat Mama, Tania udah berhasil." Bukannya membuat Tania tenang, justru isakan Tania bertambah nyaring. Hujannya semakin deras. Mama masih memeluk, mengusap punggungnya.

Tiba-tiba Ayah mengusap kepalanya. Tania tidak tahu harus senang atau malah sebaliknya. "Masa anak Ayah nangis, jangan cengeng. Pasti masih ada kesempatan di lain waktu."

Tania mengangguk. Namun ia belum berhenti menangis. "Memangnya tadi kenapa?" tanya Mama lembut.

"Tani ... a, melakukan ... kesalahan kecil ... yang fatal. Tania ... takut."

Mama melepaskan pelukan. Menatap manik mata Tania hangat seraya tersenyum. "Sekarang, kamu masuk kamar. Ganti baju. Keluar nanti, jangan nangis lagi. Mama bikin makan malam dulu, habis itu kita makan sama-sama. Oke?"

Tania mengangguk. Ia berusaha membalas senyuman Mama, dan juga Ayah yang kembali mengusap kepalanya.

~.-.~

Tepat setelah usapan tangan Ayah. Tania terbangun. Matanya basah. Masih tersisa air yang meluncur saat ia terbangun. Setelah menghapusnya. Tania kembali menangis. Benar-benar menangis. Kejadian tadi tak akan pernah terjadi. Di dunia nyata.

Bunga tidur tadi begitu indah sekaligus menyesakkan.

Tania menghabiskan sisa tangisnya. Memandang langit di luar yang mulai terang. Ia bersyukur sedang halangan. Jadi tak ada alasan untuk bangun sedikit terlambat.

Dia masih berusaha meredakan hujannya yang tiba-tiba—langit di luar yang memang Tania lihat sebenarnya agak mendung—turun perlahan hingga melebat. Tania jadi tidak tahu bagaimana menghentikan isak tangisnya. Sendirian di kamar. Tanpa ada yang mau tahu perasaannya. Tania menangis untuk melegakan hati, menenangkan dirinya, menghabiskan sisa tangisan itu agar tidak turun di salah tempat. Jika tidak, habis sudah Tania. Bukannya tenang, malah menyakiti batin dan mentalnya.

Tania masih ingat. Bagaimana seseorang itu, mengatakan, "Biarin aja ketawa-ketawa, asal gak nangis."

Mungkin itu salah satu candaan. Namun ... Tania mendengarnya dengan serius. Seakan itu adalah pernyataan yang ditegaskan.

Tania jadi semakin takut. Bingung. Ia bingung harus bertanya pada siapa. Harus mengeluarkan isi hatinya pada siapa. Semua masih terasa menyesakkan.

•••

Sebenarnya, bukan ini bab 17 -nya,
tapi karena aku ngerasa aneh,
akhirnya nulis tema lain.
Ugh, nyesek sendiri aku tu.
Takut berenti nulis lagi.
Doain ya manteman!
Tengkyu!

-Rainyshaa

Aksara HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang