5 | Sebuah Alasan

274 10 0
                                    

Kamera tergantung di leher seorang laki-laki. Satu langkah ia berjalan, pemandangan yang menarik netranya akan ia bidik dengan kamera. Berbagai potretan telah terpajang di kamarnya.

Hari telah sampai di penghujungnya. Dimana matahari mulai meninggalkan langit, menyisakan jingga berpadu biru dan ungu terlukis di langit. Matanya mulai berbinar bersamaan dengan kedua ujung bibir tertarik ke atas.

Kamera ia arahkan ke langit. Momen yang selalu ditunggunya. Di mana senja telah datang menyelinap masuk ke hatinya. Langit berwarna magenta menjadi favoritnya. Tak ada yang tahu alasannya.

Kecuali ...,

Nada.

Gadis itu selalu membuntuti kemanapun Rean pergi. Selalu direkamnya bagaimana seorang Rean. Meski Nada mengikuti tanpa suara. Siapa sangka, Rean mengetahuinya. Dan hari ini, di saat matahari benar-benar hendak tenggelam dan burung-burung berterbangan. Rean akan menangkap basah Nada.

Cekrek.

Rean berhasil memotret langit. Untuk ke sekian kalinya. Ia menatap hasil bidikannya puas. Namun Rean tak puas dengan Nada.

"Dek."

Detik itu juga.

Rasanya Nada ingin melompat ke air mancur di dekatnya.

Rean berbalik. Tertangkap di matanya, Nada nyengir. Kaki panjangnya melangkah menuju Nada, tangan kanannya mengacak gemas rambut gadis itu.

"Makan. Ikut, nggak?"

Nada cemberut. Dia mengejar Rean dan melompat ke punggung laki-laki itu.

"Dek!"

"Nyebelin!" kesal Nada. Rean tak bisa marah. Tak pernah bisa. Jadi, ia hanya membenarkan posisi Nada di punggungnya.

Ketika sampai di sebuah rumah makan, duduk di tempat yang nyaman, dan memesan makanan yang memenuhi keinginan perut. Rean membuka suara.

"Jadi?"

"Jadi apa?" Nada bertanya polos, seraya memainkan ponselnya yang kelihatan lebih menarik.

Rean mengembuskan napas, ia merebut ponsel Nada. "Ngapain tadi. Dibilangin di rumah aja ya di rumah!"

"Adek bosen, Bang."

"Tapi nggak usah pake aca—."

Tangan kecil Nada menutup mulut Rean. "Nada laper!"

Nada tahu. Ia selalu tahu rahasia kecil Rean. Walau Rean hanya menganggapnya adik kecilnya yang menyebalkan. Namun Nada tak peduli. Nada tak ingin apapun yang berharga. Nada cuma ingin Rean—abangnya—tidak meninggalkannya di rumah seorang diri saat sore menjelang malam.

Nada memang masih teramat kecil di mata Rean. Tapi, Nada mengerti. Dan Rean tidak.

Nada tahu. Kenyataannya. Kebenarannya. Bahwa Rean tidak benar-benar menyukai senja. Rean tidak benar-benar menjadikan senja sebagai favoritnya. Rean tidak benar-benar menjadikan senja sebagai objek foto kesukaannya. Ada hal lain. Ada alasan lain yang membuat Rean selalu keluar saat sore, saat jingga di penghujung hari. Potretan senja itu hanya alasan bualan.

Alasan terbesar Rean sebenarnya ...

... Rean menunggu sang Ayah pulang.

Tepat di saat matahari mulai tergelincir. Ayahnya pergi. Dan Rean selalu menunggu waktu itu.

Waktu di mana Ayah akan kembali.

Di mana senja bertamu.

Dan Rean tak pernah mempercayai adiknya—Nada, jika ...

... Ayah tak akan pernah pulang ke rumah.

Selamanya.

•••


Kenapa jadi pendek terus ya:')
-Rainyshaa

Aksara HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang