1 | Perhatian Tersembunyi

2.9K 58 8
                                    

Ayah. Lelaki yang menjadi pelindung keluarganya.

Sosoknya dihormati. Banyak rahasia yang tersimpan di baliknya. Seorang lelaki yang menyampaikan rasa sayang lewat hal kecil membuat banyak anak yang tak menyadari.

Rubi. Gadis itu sedang menghangatkan badan dengan selimut yang mengurungnya. Hujan turun deras di luar rumah. Membuat tubuhnya menggigil akibat pulang menerobos hujan. Meski begitu, ia mencoba membuat tulisan di kaca jendela. Terasa dinginnya hingga embun hinggap di kaca.

Suara seseorang menghentikan kegiatan kecil Rubi.

"Minum tehnya, lain kali jangan nerobos. Berapa kali Ayah harus mengatakannya?" Setelah berbicara, lelaki yang menyebut dirinya Ayah itu berlalu. Meninggalkan Rubi dengan dingin yang berusaha masuk ke celah selimutnya.

Gadis berambut pendek sebahu itu mengembuskan napas pelan. Dia meraih gelas yang berisi teh dibawakan ayahnya tadi dan menyeruput pelan. Kepulan asap di atasnya menandakan jika teh itu masih panas.

Berkali-kali Ayah memperingatkan Rubi agar tidak hujan-hujanan. Berkali-kali pula Rubi tidak menggubris. Rubi suka hujan, tapi tubuhnya tidak. Saat Rubi bawa ke bawah langit kelabu, penolakan itu selalu hadir saat pulang. Sakit biasa terjadi seperti demam dan menggigil tak pernah absen menyerangnya. Rubi menunduk. Tangannya memeluk gelasnya, mencari penghangatan.

Setelah itu, ia mengembalikannya ke tempat semula. Mata Rubi seakan berkaca. Rintikan bulir bening yang diturunkan dari awan itu terekam di netranya. Kelabu itu begitu pekat, guntur sesekali menyambar. Sendunya menyergap tiba-tiba.

Hanya di kamar ia bisa melakukan apapun. Di saat ayahnya tak berada di dekatnya. Terkadang ia kesal dengan Ayah. Sedikit-sedikit nada tingginya menyerbu datang, meruntuhkan pertahanannya. Wajah kerasnya terekam dalam matanya, meluruhkan hujannya.

Rubi tak paham. Ia seolah diberi banyak teka-teki atau mungkin pernyataan. Tentang Rubi yang harus mengalah, walau faktanya ia anak bungsu. Tentang Rubi yang harus mengerti, meski nyatanya ada yang lebih tua darinya. Tentang Rubi yang tenggelam dalam hujan, tanpa memberi tahu siapapun.

Rubi tak memahami. Kenapa ia harus bersembunyi di titik terlemahnya bertamu. Kenapa ia harus menjadi badut di hadapan mereka sementara hatinya berteriak.

Banyak kata yang ingin Rubi teriakkan. Banyak kata yang ingin Rubi keluarkan. Banyak kata yang ingin Rubi turunkan.

Rubi lelah. Hanya hujan yang mengertinya. Mengenai dirinya.

•••

Detik waktu yang begitu cepat berlalu. Mengalihkan dunianya. Rubi tersenyum lebar. Ia berusaha seceria mungkin. Seakan ingin mengatakan jika ia sudah sehat dan bisa sekolah tanpa perlu menyampaikan surat sakit.

Binar menyambut Rubi di tempat duduk dengan kening mengerut. Rubi tahu kalau Binar tak mau Rubi sekolah. Setidaknya sehari saja. Karena Binar yang berstatus sebagai sahabatnya Rubi, ingin menutup telinga jika Rubi sudah mengoceh. Jadi, sehari tanpa Rubi itu teramat menyenangkan. Bagi Binar.

Rubi terkekeh. Hujan memang membuatnya sakit, tapi tidak akan sampai berhari-hari. Cukup semalaman. Minum teh hangat dan makan sup buatan Bunda, tidur dengan selimut hangat. Sangat cukup membuat demamnya turun. Ajaib mungkin.

Sahabat Rubi itu mendengus. "Bi, kapan, sih lo gak sekolah?"

Pertanyaan macam apa itu? Rubi cemberut. "Jahat, lo. Pengen banget temennya sendiri sakit."

"Ya, setidaknya kalau gak sakit ..., lo bisa ijin gitu kemana."

"Bodo."

•••

Hari terasa sepi. Ayah berkelakuan aneh menurut Rubi. Mengantarnya setiap hari ke sekolah, padahal dulu Ayah selalu menyuruh Reta—anak pertamanya—untuk mengantar Rubi. Lalu, sosok itu di akhir pekan mengajak jalan-jalan. Kemanapun yang diinginkan Rubi dan Reta.

Rubi tak menghiraukan tingkah ayahnya. Ayah memang begitu menurutnya. Sosok menyebalkan, tapi ia sayang.

Hari berganti kembali sampai fajar menyambut.

Gadis berkerudung biru itu asyik di jalan. Beradu pandang dengan langit biru yang mulai menjadi kelabu. Sesekali Binar membuat topik. Mereka berjalan kaki pulang dari minimarket menuju rumah Binar yang tak jauh dari sana.

Ponsel Rubi berdering pelan. Bergetar di dalam tas selempangnya.

"Binar, berhenti bentar."

"Assalammu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Ru ... bi."

"Kenapa, Kak?"

"Ayah ... pergi."

Tut ... tut ....

Panggilan telpon terputus. Rubi bergeming dengan ponsel masih menempel di telinga kanan. Berusaha mencerna kalimat terakhir. Binar memperhatikannya bingung.

"Kenapa, Bi?"

Rubi menoleh sebentar sebelum pesan masuk kembali membuat ponsel Rubi bergetar. Ia menjauhkan dari telinga, lalu membacanya perlahan.

Mata Binar menangkap tangan Rubi bergetar seketika. Hujan Rubi luruh bersama langit yang menangis.

Sekelebat memori berputar bergantian. Tentang Ayah yang tidur di ruang keluarga, sementara ia mengerjakan tugas. Tentang Ayah yang waktu ia kecil, suka menggendongnya memutari rumah dan membuatnya tertawa di hadapan Bunda. Ayah yang membawa makanan kesukaannya. Memarahinya main hujan. Dan kaliamat-kalimat yang kini menghantuinya.

"Rubi, udah shalat, Nak?"

"Ngaji dulu, Bi."

"Kapan pakai kerudung kayak Binar anaknya Ayah?"

"Nanti kita berkumpul di surga. Rubi nggak mau kan kita kepisah saat di akhirat?"

Dan lain-lain. Rubi tak tahu harus apa. Ia ingin pulang ke rumah. Namun kakinya membeku di tempat, lalu lemas. Membuatnya terduduk. Binar hanya bisa memeluk Rubi menenangkan. Namun ... itu tak bisa menghilangkan rasa perih di hatinya.

Terlalu banyak hal. Banyak hal yang belum Rubi perbuat. Lidahnya kelu membisu. Pertahanannya runtuh. Tak bisa ia baca dengan baik perhatian Ayah.

Seorang cinta pertama anak perempuannya. Seseorang yang sangat berarti, tapi terkadang terlupakan. Marahnya membuat jenuh. Namun saat penyesalan datang, rindu itu menggebu.

•~•~•

Di tengah dingin yang menyergap.
Satu judul terselesaikan.

-Rainyshaa

Aksara HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang