Mungkin.
Aku terlalu melankolis.
Saat semesta memberikan penawaran. Aku menolak. Membiarkan perih merajut batin.
Air itu berguguran dari langit kelabu. Diri ini terbelenggu dalam kebekuan. Bersembunyi di balik gemintang paling redup. Kaki ini ingin melangkah. Ternyata tersesat dalam kegelapan jauh lebih mengerikan.
Aku menyukai semesta. Termasuk senja di dalamnya. Karena ia memberikan luka, tetapi juga memberitahukan, bahwa malam yang panjang tidak seburuk yang diperkirakan.
Hujan turun silih berganti. Di bulan Desember. Semua luka kembali terbuka.
Ketika ditinggalkan telah menjadi teman. Dan kesendirian adalah sahabat. Yang aku tahu, aku selalu seperti ini. Tenggelam dalam zona nyaman. Namun ada saja yang mengganggu. Memaksaku keluar, padahal ia sendiri tidak mau.
Aku pikir, kerikil itu berhenti kutemukan. Mungkin aku berekspektasi terlalu tinggi, terlalu jauh membiarkan angin membawa mengudara. Atau aku yang terbawa perasaan?
Baru saja aku ingin menyatakan, bertemu denganmu adalah sesuatu yang teramat menyenangkan. Namun lagi, meski bukan darah yang melukiskan, tetapi lebam biru itu nyata berdenyut nyeri. Mungkin lain kali, tak usah ada kata mengalah, tak usah ada kata tersakiti. Sayang, seperti yang pernah hujan katakan, hati ini terlalu baik untuk memberontak.
Mungkin.
Aku terlalu lama melamun. Sampai suara seseorang beralun di pendengaran.
Mungkin.
Aku terlalu melankolis dalam mengarungi kehidupan. Hingga semesta memberikan penawaran, aku tolak dan memilih bertahan. Bertahan bersama jutaan senda gurau menyebalkan.
Atau aku yang tak pernah memiliki teman? Jadi tak pernah merasakan.
"Ya, gak ada hubungannya lah, Ly."
Aku tersenyum kecil. Menanggapi sang Bulan yang dengan mudahnya menebak isi pikiran seseorang.
"Dapet spekulasi dari mana? Aku mau bilang itu spekulasi yang sama sekali ga bagus."
"Dari tawa hujan."
Bulan menepuk pelan jidatnya. "Sekali-sekali. Biarin lisan kamu bersuara."
Aku menjauh. Beranjak dari duduk. Dengan dalih perut lapar.
*~•~*
Desember penuh hujan. Lagi, aku berkemungkinan. Mungkin bumi sudah lelah menghangat, ingin mencari kebekuan.
Aku teringat ucapan Bulan. Omong-omong, gadis tadi yang asal berceletuk itu saudara kembarku. Nama kami tidak mirip, seperti wajah kami. Namun ikatan anak kembar itu terikat, sampai Bulan mengetahui apa yang kupikirkan.
Atau Bulan hanya menebak saja?
Kami memang kembar, terlahir hanya selisih beberapa menit. Wajah kami tidak terlalu mirip dan anak-anak di sekolah pun tidak mengetahuinya. Lalu, entah kenapa kami tidak pernah sekelas, mungkin semesta ingin mengajak bermain.
Mama ataupun Papa tidak pernah membuat kami merasa tidak diperhatikan. Mereka hanya memberikan sesuatu, dan membiarkan kami memikirkan siapa yang seharusnya mengalah.
Sederhananya, Papa pernah bilang, jika hidup bukan hanya tentang diri kita, tetapi juga orang lain.
Aku kira Papa telah selesai bersuara, ternyata masih ada yang tersisa. Katanya, meski begitu ..., kadang ada saat di mana kita harus lebih memperhatikan diri kita ketimbang orang lain.
Maksudnya?
Mungkin.
Aku hanya berimaji dalam mie yang kuaduk. Atau Papa hanya mengucapkan yang terlintas saja dan tak mengerti maksudnya.
Saat aku ingin melahap mie, Bulan datang dengan segenap bintang. Merebut paksa piring mie yang sudah kubuat susah payah. Mungkin aku terlalu hiperbola.
"Tahu nggak, Ly? Mungkin, hidup itu tentang mie. Kau harus membaginya atau membuatkannya kembali di saat yang lain ikut lapar mencium aromanya," ucapnya dengan nada serius entah darimana. Setelah itu, ia memakan mie milikku.
"Mungkin. Kau harus tahu, betapa susahnya mendapatkan seonggok makanan. Nggak ada yang langsung jadi di dunia ini. Sekali pun dengan meminta, kau harus melewati berbagai fase terlebih dahulu." Aku menarik paksa piring itu. Membawa jauh dengan meninggalkan Bulan dengan sisa mie di mulutnya.
Kulihat dari ekor mataku, ia bersedekap. "Ly, terlalu serius menanggapi kehidupan dapat berdampak buruk pada batin."
Aku memutar bola mata. Memilih duduk di sofa televisi yang jaraknya masih bisa dipandang Bulan.
Bulan mendekatiku. Duduk di sampingku seraya mengambil bantal sofa untuk dijadikan objek pelukan. "Mungkin," Bulan mendekatkan mulutnya ke telingaku, berbisik, "spekulasiku jauh lebih baik daripada tawa hujan."
Aku menjauhkannya dariku, tertawa.
Terkadang. Bulan hanya ingin menghibur dengan suaranya yang serius. Dan bermakna berkeinginan menghilangkan keheningan di antara kami.
•••
Setidaknya,
ini lebih panjang dari sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Hujan
Short Story[Completed] Ini hanya kumpulan kisah. Saat jenuh telah menguasai dan hujan membenamkan wajah di tengah dinginnya. Awal di-publish pada : 25 Nov 2018 Copyright© 2018, by Rainyshaa