14 | Setidaknya

91 5 0
                                    

Iris mata cokelat kekuningan milik Sashi menatap kagum pepohonan. Ia tengah berdiri di sebuah rumah pohon, pohon besar yang begitu rindang. Dengan pepohonan lain di sekitarnya membuat tempatnya berpijak sejuk. Meski matahari bersinar terik.

"Kakak, ayo, main!" teriak seorang anak laki-laki di bawah sana. Ia berlarian memutari satu pohon ke pohon lain. Mengejar seekor kupu-kupu yang terlihat usil padanya.

Sashi terkekeh. "Jangan lari terlalu kencang, Rie!"

Arie tampak tidak peduli. Semilir angin di sekelilingnya menghempaskan rambutnya. Kupu-kupu itu terus terbang hingga membuat Arie kelelahan karena sang kupu-kupu hanya terbang di sekitar rumah pohon Sashi saja.

Sashi tertawa geli. Arie terduduk di bawah pohon, lantas merebahkan tubuhnya di atas rerumputan. Sashi menuruni perlahan tangga rumah pohon, menghampiri sang adik yang napasnya mulai teratur.

"Kak Shi gak ikut main! Gak seru!" seru Arie.

Sashi hanya mengedikkan bahu tak acuh. Dia membongkar ransel hijau kesayangannya. Mengeluarkan kotak bekal dan dua botol minuman.

"Yuk, makan."

Arie bangkit. Menggosokkan telapak tangan, matanya berbinar memandang makanan yang disiapkan Sashi. Namun saat Arie hendak mencomot sepotong sandwich, Sashi langsung menjauhkan kotak makanan. "Eh, cuci tangan dulu sana."

Arie cemberut. "Dasar, sok bersih!" Arie berdiri, menghentakkan kakinya, tetapi tetap melangkah menuju keran yang dekat dengan rumah pohon. Sashi terkekeh geli.

Arie yang sudah 10 tahun. Bagi Sashi anak itu masih seperti balita yang menggemaskan. Kepergian sang Bunda sejak Arie masih 3 tahun, membuat Sashi yang waktu itu berumur 7 tahun harus berusaha membuat Arie tidak merasa kehilangan sosok Bunda.

Meski Sashi masih menganggap Arie balita yang harus diawasi. Sashi belum pernah tahu. Jika Arie mengetahui hal-hal yang Sashi tutup rapat. Seperti Sashi yang tak ingin Arie merasa tidak seperti anak-anak lain di umurnya. Arie sangat tahu, jadi Arie berusaha bahagia untuk Sashi. Apapun untuk membuat Kakak kesayangannya tertawa.

Ketika Sashi tertidur lelap di sofa karena lelah mengurusnya. Arie mengambil selimut, menyelimuti Sashi agar tidak kedinginan. Sashi yang pikirannya menghadapi hidup harus dewasa sebelum waktunya. Saat anak-anak lain bermain riang, Sashi harus merawat Arie. Dan Arie, berjanji akan membuat Sashi lebih bahagia nanti.

^•^•^

Hujan turun begitu deras. Kelabu seakan membius suasana menjadi muram. Dingin menusuk kulit. Arie bersandar di dinding sekolah. Beberapa siswa-siswi masih berkeliaran di sekolah karena hujan.

Arie melihat jam di ponselnya. Sudah dua jam lebih hujan turun. Tak ada tanda ingin berhenti. Saat Arie ingin mencari koridor lain yang mungkin bisa menghangatkan tubuhnya yang meski sudah dibungkus jaket. Matanya mengerjap menangkap sesosok mungil yang dikenalnya berada di ujung jalan. Berlari kecil ke arahnya dengan payung lebar tergenggam erat di tangan.

Lagi.

Arie merutuki dirinya yang lupa membawa payung. Jika tidak, Sashi tak perlu repot-repot menjemputnya. Seharusnya ia yang melakukannya. 14 tahun. Arie sudah cukup besar.

Kaki Arie berjalan ke arah Sashi yang sudah menurunkan payung. Selamat sampai di koridor. Sashi menyengir. Seragamnya agak basah karena hujan lebat membuat cipratan. Arie tak bicara. Ia menuntun Sashi untuk duduk di kursi yang kosong. Arie melepas jaket yang dipakainya, lalu memakaikan ke tubuh Sashi.

Aksara HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang