Anything About Him

118 14 7
                                    

Hal pertama yang terjadi, setiap kali Ivony menginjakkan kaki di SMA Ratulangi—lebih tepatnya di kelas XI IPA 2—adalah pembicaraan tanpa jeda bertajuk serupa, Arlando. Maklum di kelas ini lebih banyak kromosom XX dibanding sebaliknya.

Namun tetap tidak masuk akal bagi Ivony. Mengingat, masa sekolah sudah berjalan satu tahun lamanya, tapi masih saja nama cowok itu yang dikumandangkan. Bahkan kabarnya, Will, anak kelas X disebut belum mampu menjadi saingan Arlando. Meski sama-sama bertubuh atletis dan otaknya cemerlang di bidang biologi.

Di baris pertama, meja pojok kiri dekat jendela. Ivony meletakkan tas di sana dan duduk di baris belakangnya. Niki dan Mia yang sedang duduk di baris pertama itu terus berbicara. Di kursinya sendiri, Ivony susah payah tidak memutar kedua bola matanya.

"Hari ini potongan rambut Arlando di pangkas tipis di sisi kiri-kanan kepalanya," lapor Niki sambil tersenyum dengan pipi merah-merah. Rambutnya yang dikuncir dua bergoyang-goyang seiring pergerakan kepalanya.

Mia yang sedang duduk di sampingnya mengangguk setuju. "Pokoknya jadi tambah keren. Kayak Yang Sejong."

"Tapi, kan rambut Yang Sejong enggak klimis?"

"Tapi imut dan gantengnya sama."

Keduanya cekikikan dan pembicaraan terus berlanjut. Bukan hanya dua sahabatnya. Cewek lain yang membentuk geng kecil di meja masing-masing membicarakan hal yang sama. Dari potongan rambut Arlando, cara berjalannya, seragam, tatapan mata dan hal sepele lain seperti gerak-geriknya.

Ivony menghela napas. "Astaga. Niki. Mia. Ini masih pagi."

"Terus kenapa?" tanya kedua sahabatnya polos.

"Kendalikan diri kalian," sahutnya jengkel. "Lagian kalian enggak ada bosan-bosannya bahas Arlando terus. Arlando begini. Arlando begitu. Dia pakai baju ini. Rambutnya kalau berantakkan bagus. Besok-besok kalian bilang kalau rambutnya juga bagus pas basah kena keringat."

"Aduh, Vony. Masa sampai sekarang kamu belum terpesona dengan karisma Arlando Kartawijdjadja?" tanya Niki gemas. "Sekali-kali coba lihat dia dengan tulus. Betapa menganggumkannya ciptaan Tuhan yang satu itu."

"Aku mual mendengarnya," cetus Ivony memperagakan orang yang ingin muntah dari kursinya.

"Ih. Jangan begitu. Idola kami tuh satu sekolah," tegur Mia ceria.

Ivony menyemburkan napas. "Arlando tuh, enggak lebih dari cowok rese. Mending bahas yang lain aja. Besar kepala nanti kalau dia mulu yang diomongin."

"Kamu masih marah gara-gara pas kelas satu diambil mulu buku matematika kamu sama dia, ya, Vony?" tanya Niki langsung.

Ivony menenguk ludah. Kalau sudah bahas masa lalu, ia langsung keki. Sayang, memang itu kenyataannya. Mereka pernah kelas satu bersama. Padahal waktu itu ia cuek-cuek aja sama kehadiran cowok tersebut. Tapi, Arlando hobi banget mengambil buku tugas dan catatan matematika dari tas Ivony tanpa permisi. Enggak pernah dibalikin. Justru Ivony yang panik mencarinya. Sampai lemari kelas diacak-acak juga pas jam pulang sekolah.

Eh, Arlando malah santai-santai main sepak bola di lapangan sama teman-teman. Dibawa pulang juga buku Ivony tanpa rasa bersalah. Padahal besok ada tugas yang harus dikumpulkan sebelum jam pelajaran dimulai dan ulangan. Alhasil, Ivony kena imbasnya. Bu Rusly jenis guru yang tidak menerima alasan apa pun akhirnya menghukum Ivony dan Arlando lari keliling lapangan.

Bukannya minta maaf, Arlando justru bilang, "Enggak sengaja kebawa, Vony."

Rasanya Ivony mau menendang Arlando sampai Saturnus biar tahu rasa. Tapi itu baru awal mula rangkaian masalah mereka. Karena sepanjang tahun pelajaran di kelas X, mereka habiskan untuk ribut. Dari buku yang enggak dikembalikan, tugas piket sampai tugas kelas.

"Bisa enggak sih kalau pinjem bilang dulu?" Itu pertanyaan terwajar Ivony saat pertama kali mengetahui pelaku pencurian buku matematikanya.

Arlando cuma cengegesan. "Nanti kalau bilang dulu, enggak dipinjemin, sih."

Lalu, di hari lainnya...

"Kalau piket tuh yang niat dong! Sebelah sini belum bersih udah pindah ke depan. Debunya masih ketinggalan," seru Ivony sebal.

"Sabar. Kan lagi piket bukan lagi lomba cepat-cepat bersihin kelas."

Di kesempatan lainnya lagi...

"Ujung buku matematika aku kok ada noda coklatnya, sih? Bekas apa, nih? Ih, sampul doraemonnya jadi tercemar, nih."

"Enggak sengaja ketumpahan susu coklat adek sepupu aku."

Di hari penuh kegaduhan lainnya...

"Kan kemaren anak-anak sudah sepakat beli taplak warna biru. Kenapa berubah jadi merah? Udah sesuai sama dekor kelas. Ini lagi lomba esketika kelas, loh. Biar kita juara. Katanya kamu yang tanggung jawab buat beli taplaknya? Gimana sih?"

"Oh. Kasihan kalau warna biru semua. Kayak di pantai aja. Kan lagi di kelas. Jadi biar ada warna yang bedanya."

Namun di balik semua keributan itu, mereka malah dapat angket kelas; termesra. Mesra dari mana? Ribut mulu, kok dibilang mesra. Ivony heran sendiri. Tapi tidak berkomentar banyak. Karena Arlando tampak acuh tak acuh.

Sekarang, tahun ajaran baru, meski tak sekelas, namanya ternyata tetap menganggu telinga Ivony. Ia jadi khawatir, jangan-janganwalau beda kelas, buku matematiknya akan loncat juga ke kelas cowok itu. Apalagi mereka satu jurusan, Ivony makin bete aja memikirkannya.

"Pokoknya, cowok kayak gitu jangan diidolain. Ngeselin. Rese. Menganggu kehidupan," sahut Ivony akhirnya.

Sebelum sahabatnya sempat memprotes, bel jam pelajaran berdering. Mau tak mau, Niki berpamitan dan balik ke kelasnya di sebelah. Kelas XI IPS 2. Ivony dan Mia melambaikan tangan semangat seolah mereka tidak akan bertemu di jam istirahat.

Meski awalnya mereka sepakat untuk sekelas lagi, ternyata Niki lebih suka di kelas IPS dibanding IPA. Ivony dan Mia mendukung hal itu. Begitu Niki pergi, Ivony langsung kembali ke tempat duduknya semula.

"Vony, yang tadi Niki bilang benar, ya?"

"Apa?"

"Kamu masih kesal sama Arlando gara-gara buku matematika?" tanyanya sambil mengeluarkan buku pelajaran bahasa Indonesia di jam pertama.

"Aduh. Kok bahas dia lagi, sih? Bosen, ah," sahut Ivony. Tapi larut juga dalam pembicaraan. "Wajar kalau kesal. Masih ada dendam gitu. Tapi enggak tahu cara balasnya."

"Jangan balas dendam. Katanya, kalau kita terlalu kesal sama orang nanti kita jadi suka sama orang itu," sahut Mia langsung.

"Ih. Amit-amit." Ivony mengatakan itu sambil mengetukkan jarinya tiga kali ke meja sekaligus mengusap perut. Meski tidak tahu manfaatnya tetap saja ia lakukan.

Mia tertawa sambil sesekali menarik rambut keritingnya. "Iya. Emang begitu, kok. Kalau di novel-novel yang aku baca. Awalnya saling benci lama-lama mencintai."

"Kamu itu kebanyakan baca novel. Buku tebal-tebal, kok dibaca. Capek lihatnya tahu. Mending kayak aku aja main simpul-simpulan tali di pramuka, lebih menarik. Atau kaya Niki yang loncat-loncat di cheerleader. Dibanding di klub buku. Ya, kan?"

Mia geleng-geleng kepala. "Enakan baca buku tahu."

Ivony tak menggubris kalimat temannya itu karena guru bahasa sudah masuk kelas. Ia mengikuti pelajaran itu dengan tekun. Meski di benaknya masih terngiang-ngiang ucapan Mia, tapi pemikiran soal pekerjaan setelah pulang sekolah lebih memberatkannya. Harapannya, semoga tak ada PR hari ini.

If I Knew ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang