9

2.3K 309 19
                                    

«●»

Meneror seseorang dengan pesan dan panggilan bukanlah ciri khas seorang Kwon Jiyong. Lisa tidak menjawab panggilannya, gadis itu juga tidak membalas pesannya, jadi Jiyong pikir gadis itu tidak ingin bertemu dengannya. Karenanya, Jiyong berhenti mengganggu Lisa. Memberi Lisa waktu untuk kembali mendapatkan zona nyamannya tanpa meneror gadis itu. Walaupun sebenarnya, ia sangat ingin meminta maaf. Tidak apa, aku akan meminta maaf padanya begitu kami bertemu, entah itu pertemuan yang disengaja atau pun tidak, pikir Jiyong yang beberapa hari terakhir ini menjadi lebih sering berkeliaran di lobby apartementnya— di lantai satu.

Ini sudah hari Rabu, tapi ia tidak berpapasan dengan Lisa. Sengaja mencari ke kantornya pun akan terasa sangat canggung dan mengganggu. Lisa punya alasan untuk tidak menemuinya dan mau tidak mau Jiyong harus menerimanya. Terkadang memaksa seseorang untuk menemuinya dan bicara dengannya hanya akan menjadikan permintaan maafnya terasa sangat egois.

Di Rabu sore ini, Lisa akan pergi makan malam bersama teman-teman kerjanya, bersama kepala marketing, juga kepala laboratorium. Gadis itu melangkah keluar dari lift, berdiri diantara dua rekan kerjanya itu sembari tertawa renyah seakan tidak ada masalah apapun.

Mata Lisa menangkap sosok Jiyong, begitupun sebaliknya. Namun Jiyong tidak berani mendekat, bukan karena terlalu malu didepan rekan-rekan kerja Jiyong, namun pria itu takut membuat suasana yang sudah nyaman diantara Lisa dan rekan-rekannya rusak karenanya.

Jiyong harus bicara namun tidak cukup tega merusak suasana disana, karenanya ia mengirim sebuah pesan pada Lisa.

"Aku ingin bicara sebentar, bisakah?" tulis Jiyong dalam pesannya. Tidak lama setelahnya handphone pria itu bergetar dan pesan balasan dari Lisa masuk ke kotak pesannya.

"Maaf, aku sedikit sibuk sekarang, bisa kita bicara hari Sabtu saja? Setelah aku kembali dari Taebaek," balas Lisa dalam pesannya, membuat Jiyong menatap Lisa dan menganggukan kepalanya. Mungkin bukan hari ini waktu yang tepat untuk meminta maaf, pikirnya yang kemudian melangkah menjauh, menghilang dari jarak pandang Lisa dan rekan-rekannya.

Jiyong pulang kerumahnya, berbading diatas sofanya dan menyalakan TV besarnya. Matanya menatap lurus pada acara TV didepannya, namun isi kepalanya terus berlabuh pada Lisa.

"Bagaimana kalau Lisa mabuk dan menyulitkan teman-temannya?" ucap Jiyong yang sama sekali tidak dapat fokus pada layar dihadapannya. Hanya Lisa dan Lisa lagi yang muncul di kepalanya. "Bagaimana kalau rekan kerjanya melecehkannya saat mereka mabuk? Bagaimana kalau tidak ada yang mengantarnya pulang? Bagaimana kalau mereka pergi ke tempat karaoke setelah makan malam? Bagaimana kalau seorang rekannya mengajak Lisa ke motel setelah itu?" terlalu banyak kekhawatiran didalam kepala Jiyong ketika ia mengingat Lisa yang pergi bersama rekan-rekannya tadi.

Rasanya Jiyong bisa mati kalau ia terus bertahan dengan perasaan khawatir itu, karenanya pria bertattoo itu kemudian meraih kunci mobilnya dan pergi mencari Lisa. Untungnya gadis itu tidak pergi jauh dari Galleria foret. Dari mobilnya, Jiyong hanya duduk dan mengamati Lisa yang sedang tertawa dan memanggang daging untuk rekan-rekannya.

"Syukurlah kalau mereka memperlakukannya dengan sopan," gumam Jiyong sembari mengawasi Lisa dari jauh— dari dalam mobilnya di sebrang jalan. Jiyong juga bersyukur karena Lisa menolak soju yang ditawarkan rekan kerjanya dan memilih meminum sekaleng cola. Dan pria itu lebih bersyukur lagi karena dua jam setelahnya, Lisa terlihat tengah berpamitan untuk pulang lebih dulu— tanpa menerima tawaran seseorang untuk mengantarnya.

Lisa pulang dengan mobilnya, sementara Jiyong mengikutinya dari jauh dan setelah memastikan Lisa benar-benar masuk kedalam rumah dan mengunci pintu rumahnya, barulah Jiyong kembali ke rumahnya sendiri.

"Tsk... aku seperti seorang pria yang tidak punya kesibukan," rutuknya pada dirinya sendiri yang belakangan ini menolak semua tawaran kerja untuknya. Belakangan ini Jiyong tidak ingin tersenyum didepan kamera apapun, karenanya ia menolak tawaran iklan apapun. Dan dengan alasan menyiapkan lagu baru, pria itu membungkam omelan atasannya.

Masuk kembali kerumahnya, tentu saja rasanya berbeda. Rumah itu tidak lagi nyaman karena kehilangan sesuatu didalamnya. Namun Jiyong juga tidak dapat pergi dari sana atau menjual tempat itu. Rumah mewah itu kehilangan kenyamanannya namun mengikat Jiyong untuk tetap disana. Keadaan yang terlalu sulit untuk dapat Jiyong jelaskan, karena sedingin apapun rumahnya, langkahnya tetap berakhir disana.

Hari Sabtu tiba dan Lisa yang sedikit demam menelpon Jiyong, menyuruh pria itu untuk datang dan bicara di rumahnya karena ia terlalu malas untuk pergi keluar.

Gadis itu membereskan rumahnya beberapa menit sebelum Jiyong datang, ia memasukan pakaian kotornya ke mesin cuci, mencuci beberapa gelas kotor, dan menyedot debu di rumahnya tepat sebelum Jiyong datang.

"Masuklah," suruh Lisa setelah ia membukakan pintu untuk pria yang menekan bel rumahnya. Jiyong memberikan sebungkus obat dari apotek pada Lisa sebelum melangkah masuk namun itu tidak cukup untuk mencairkan suasana disana.

"Terimakasih," jawab Lisa yang kemudian menutup pintu dan mengekori Jiyong yang berjalan masuk kedalam rumahnya. "Duduklah, aku akan mebuatkan teh untukmu,"

"Hm..." gumam Jiyong yang kemudian menjatuhkan tubuhnya diatas sofa Lisa. Pria itu menatap layar gelap TV dihadapannya dan menatap bayangannya sendiri di layar gelap itu. "Dengan siapa kau tinggal disini?"

"Apa kau menemukan tanda-tanda keberadaan orang lain disini?" ucap Lisa manjawab pertanyaan Jiyong. Pria itu menganggukan kepalanya, basa basinya sia-sia dan ia tidak punya topik apapun sekarang.

"Ini tehmu," ucap Lisa yang kemudian meletakan secangkir teh didepan Jiyong dan duduk di sebelahnya. "Teh madu,"

"Kau masih mengingatnya,"

"Tentu saja, sudah bertahun-tahun aku membuatnya," balas Lisa sembari melirik Jiyong yang menyesap tehnya.

"Kau sudah bisa membuatnya dengan benar," komentar Jiyong yang sama sekali tidak membuat Lisa senang.

"Kau bisa bilang rasanya enak kalau memang enak dan diam saja kalau rasanya tidak enak. Kenapa selalu repot-repot membuat komentar sinis seperti itu? Dulu kau selalu mengomel setiap kali madunya terlalu banyak, mana mungkin aku tidak ingat takarannya?" protes Lisa sembari menyalakan TV dihadapannya. Perlu ada sesuatu yang dapat mengalihkan perhatiannya sebelum ia meneriaki Jiyong lagi. "Sebenarnya apa alasanmu datang? Kuharap itu penting karena kedatanganmu membuatku sakit kepala,"

"Tehnya enak, aku ingin bilang kalau tehnya enak," jawab Jiyong menjelaskan maksud ucapannya. "Dan aku datang untuk meminta maaf. Maaf karena menghela nafas didepanmu dan maaf karena tanpa sadar aku membuatmu kehilangan rasa percaya dirimu. Aku tidak pernah bermaksud begitu karena aku tidak pernah tahu kalau kau kehilangan rasa percaya dirimu,"

"Aku tidak punya alasan untuk tidak memaafkannya,"

"Karena kau tahu kalau aku tidak akan pernah mengulanginya," balas Jiyong. "Maafkan aku, Lisa, karena tidak menyadarinya dari awal,"

«●»

No Trust Without UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang