SEJAK memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya, Raya lebih sering berada di rumah. Pada akhirnya gadis itu harus mengakui kebenaran perkataan Rian, bahwa akan berat baginya jika ia tetap bekerja di kantor dan bertemu dengan Rian setiap hari. Tentu saja dikarenakan serentetan peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini.
Jangankan untuk bertemu, memikirkannya saja sudah membuat dada sesak. Dari pada melarikan diri ke kantor cabang, Raya memilih mengundurkan diri. Gadis itu membutuhkan ruang yang di dalamnya tidak akan pernah disebutkan nama lelaki itu. Maka, berhenti dari perusahaan yang dikuasai oleh keluarga Fabiansyah adalah pilihan yang tepat.
Raya sebenarnya adalah tulang punggung keluarga. Ayah Raya sudah meninggal sejak Raya masih duduk di bangku SMA, dikarenakan kecelakaan lalu lintas. Sedangkan sang ibu hanya menghasilkan uang jika ada yang memesan kue darinya. Siska tidak banyak mengambil keuntungan, sehingga uangnya kurang untuk memenuhi kebutuhan.
Oleh karena itu, jika tidak ingin dirinya dan ibunya mati kelaparan karena tabungan yang mulai menipis, Raya harus bangkit dan mencari pekerjaan baru. Terlalu lama larut dalam kegalauan juga tidak baik untuk hatinya dan juga isi dompetnya.
"Belum ada yang cocok, Sayang?" Pertanyaan Siska menyentak Raya dari lamunannya. Ia baru teringat sedang mencari-cari lowongan pekerjaan di koran dan internet.
"Belum, Bu."
"Ya sudah, kamu mandi dulu, gih. Ibu siapkan sarapan dulu."
"Butuh bantuan, Ibu?" Raya menawarkan bantuan, berusaha menunda pertemuannya dengan air kamar mandi yang sedingin es.
"Tidak perlu. Sudah jam delapan lebih ini, buruan mandi. Akhir-akhir ini putri ibu semakin kusut saja, jarang mandi." Siska mengomel sambil menata makanan yang telah siap ke meja makan.
Raya mengerucutkan bibirnya. "Ibu berlebihan. Raya hanya mandi sedikit telat, bukannya jarang," protes Raya.
Terdengar gelak tawa Siska dari dapur.
***
"Paket!!!"
Siska baru saja selesai menyiapkan sarapan ketika kurir jasa pengiriman barang mengetuk pintu rumahnya.
"Pintu itu jadi sering diketuk belakangan ini," gumam Raya menunjuk ke arah pintu kayu yang telah berumur itu.
"Tamu itu pembawa rezeki dari langit untuk tuan rumah. Jangan dicela!" Siska memukul pelan tangan putrinya yang masih menunjuk pintu. "Sarapan dulu, biar ibu yang bukakan pintu."
Raya meringis. Apa tamu yang waktu itu juga pembawa rezeki dari langit? batin Raya. Jadi, kabar pernikahan Rian dengan perempuan lain adalah rezeki untukku? Raya terdiam melongo.
"Kamu pesen barang online lagi, Raya?" Siska datang membawa kotak hitam yang dibungkus plastik berlogo jasa pengiriman barang.
Raya menggeleng. Sudah lama Raya tidak membeli barang lewat online. Pengalamannya dengan barang-barang online tidak ada yang bagus. Membuatnya kapok.
"Salah kirim," singkat Raya.
"Tidak. Penerimanya benar, Radista Anggitya."
"Pengirimnya?" Raya mulai penasaran. Tetapi yang tertulis di sana adalah nama sebuah butik sebagai pengirimnya. Dilihat dari alamatnya, butik itu terletak di luar kota. Diliputi oleh rasa penasaran yang membuncah, dengan geradakan Raya menyobek plastik pembungkus kotak itu dan melihat isi di dalamnya.
***
Segala sesuatu itu berpasang-pasang. Ada bahagia, ada pula kekecewaan yang terkadang membuat hati menjadi sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Bukan Penggantimu
RomanceRaya tahu seseorang sedang mengawasi mereka, bahkan ketika Aryanka Dylan berlutut di hadapannya, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam saku jasnya. Arya membuka kotak beludru berwarna merah itu dan mengulurkannya pada Raya. "Radista Anggitya...