RAYA menghela napas. Lagi. Matanya masih tak lelah memandang jalanan di depan rumahnya. Tadi selepas shubuh, Arya menelepon untuk mengabarkan bahwa ia dan neneknya akan datang siang ini. Tanpa perlu diberitahu pun Raya sudah paham maksud kedatangan mereka. Karena itu, pagi-pagi sekali ia dan ibunya pergi berbelanja ke pasar untuk menyiapkan hidangan. Akan tetapi, sampai waktu ashar tiba, lelaki itu tidak kunjung datang.
"Sudah coba dihubungi, Nak?"
Raya menggeleng menatap ibunya, lalu menerima segelas air yang diangsurkan padanya.
"Barangkali terjadi sesuatu di jalan. Telpon dulu gih."
Raya ragu. Jika benar telah terjadi sesuatu, Arya seharusnya menghubunginya untuk memberi kabar. Gadis itu mendengus pelan. Lagi-lagi ia menggunakan egonya untuk berpikir. Dengan cepat ia membuang jauh-jauh ego itu dan meraih ponselnya.
"Baiklah."
Sebuah panggilan masuk sebelum Raya membuka kunci ponselnya. Kebetulan sekali, ternyata Arya yang menelepon. Segera Raya menjawab panggilan itu.
"Assalamualaikum," sapa Raya.
Arya menjawab salam Raya dengan suara yang berbeda dari biasanya. Seperti ketakutan. "Raya, bisakah kamu ke rumah sakit sekarang?"
Dahi gadis itu berkerut. "Rumah sakit? Kenapa? Kamu tidak apa-apa, kan?" Mendadak ia gelisah.
"Ya, saya baik-baik saja."
"Lalu?"
"Ceritanya panjang, Raya. Please, ke rumah sakit sekarang. Saya mohon ...."
Telepon ditutup. Raya memberitahu Siska tentang percakapannya dengan Arya di telepon, lalu segera berangkat ke rumah sakit yang disebutkan Arya tadi.
***
Ruang ICU sunyi. Tidak ada suara, yang terdengar hanya bunyi alat-alat deteksi medis. Beberapa pasien tergeletak di atas ranjang, matanya terpejam, dan ada yang mulutnya ternganga. Sesekali terdengar rintih kesakitan. Salah satunya adalah James Dylan. Beberapa dokter dan perawat masih mengelilinginya untuk memberikan penanganan.
Arya menanti dengan gelisah di ruang tunggu. Ia sudah tiba di sana sejak sejam yang lalu, tetapi belum ada informasi apa pun mengenai kondisi kakeknya. Di sebelahnya, Andara duduk dengan mata yang tak henti meneteskan air. Pikirannya hanya tertuju pada satu orang, suaminya. Ia belum sanggup jika seandainya hari ini suaminya itu harus pergi. Tidak. Bahkan pertemuan terakhir mereka di London tidak begitu baik, Andara belum meminta maaf.
"Arya!" Suara Raya memanggil. Ia baru saja datang dan segera menghampiri lelaki itu dengan wajah kebingungan. "Apa yang terjadi sebenarnya?"
Arya tergeragap. "Kakek, Raya ... kakek terkena serangan jantung mendadak."
"Innalillah ...." Raya terhenyak, menutup mulut dengan kedua tangannya. Beberapa saat yang lalu ia hampir berburuk sangka dengan Arya, tetapi ternyata lelaki itu sedang tertimpa kemalangan. Ia benar-benar menyesal.
Pandangan Raya lalu beralih pada wanita tua berkulit putih pucat di sebelah Arya. Ia menduga wanita itu adalah nenek Arya. Raya pun duduk di sebelah Andara dan menggenggam tangannya yang gemetar.
"It's ok, Mrs. Dylan. Everything's gonna be alright. We better pray," ucap Raya mencoba menyalurkan kekuatan.
Andara membalas tatapan Raya. Ucapan gadis itu tulus, bukan sekedar berusaha mengerti, tetapi memang memahami. Andara melihatnya dalam manik mata segelap langit malam itu. "You must be Raya?"
Raya mengangguk. "Yes."
"Thank you."
Seorang dokter keluar dari ruang ICU. Arya langsung memberondong dokter pria paruh baya itu dengan pertanyaan. Dokter itu pun menjelaskan kondisi terkini James. Tekanan darah tinggi, dan salah satu pembuluh darah jantung mengalami penyumbatan yang menyebabkan serangan jantung secara mendadak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Bukan Penggantimu
RomanceRaya tahu seseorang sedang mengawasi mereka, bahkan ketika Aryanka Dylan berlutut di hadapannya, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam saku jasnya. Arya membuka kotak beludru berwarna merah itu dan mengulurkannya pada Raya. "Radista Anggitya...