RAYA kembali menatap pantulan dirinya pada kaca jendela salah satu toko roti yang terletak di seberang gedung tempat dilangsungkannya pesta pernikahan Rian. Gadis itu sudah tiba di sana sejak setengah jam yang lalu, tetapi belum ada tanda-tanda ia akan bergabung ke pesta. Ia sibuk dengan hati dan pikirannya yang masih bergolak, memperdebatkan keputusannya.
Ya, tentu bukan hal yang mudah bagi Raya untuk datang ke acara pernikahan mantan kekasihnya, lelaki yang sebenarnya masih dicintainya. Raya akui, meskipun telah disakiti, ia masih menyimpan rasa untuk lelaki yang telah menghuni hatinya selama empat tahun itu.
Tetapi, Raya sudah memutuskan untuk mengikhlaskan Rian, seharusnya ia tidak boleh seperti ini. Raya tidak boleh mundur.
Dengan penuh percaya diri, Raya membalikkan badannya, melangkahkan kakinya perlahan menyeberangi jalan menuju gerbang masuk gedung. Tetapi belum sampai kakinya melewati trotoar, Raya justru memutar arah menjauh.
"Tidak ... tidak bisa. Ini terlalu berat untuk kuhadapi sendirian," lirihnya pelan seraya terus berjalan. Tetapi kemudian langkahnya terhenti, ketika tiba-tiba tangannya ditahan oleh seseorang dari belakang. Raya berjingkat.
"Acaranya sudah hampir dimulai ... Mbak, mau ke mana?" Terdengar suara lelaki, lembut tapi tegas.
Suara lelaki? Raya membatin, siapa? Tetapi Raya tetap tidak membalikkan badannya, hanya menarik tangannya dari genggaman lelaki di belakangnya.
"Eem ... iya, a-aku ...." Raya memilin-milin pita bajunya, tampak gugup. Tunggu, baju? Mata Raya berbinar, sebuah ide terlintas di benaknya. "Bajuku salah, aku lupa dress code-nya adalah gaun berwarna putih," sambungnya cepat.
Masih membelakangi si lelaki, Raya mengamati dirinya sendiri. Tadi pagi, Raya menyengaja mengenakan gaun berwarna baby blue selutut, dipadukan dengan flat shoes putih senada dengan tas selempang kecilnya. Sebenarnya Raya tahu dress code pesta pernikahan Rian adalah putih, tapi entahlah, Raya justru kepikiran untuk menyimpang. Mungkin, itu hanya sebagai alasan untuk kabur ketika dihadapkan pada situasi seperti saat ini.
"Kalau begitu, kita adalah pasangan yang pas." Tiba-tiba lelaki tadi sudah berdiri di depan Raya, menampakkan wajahnya yang rupawan tepat dalam pandangan Raya.
Untuk sepersekian detik, Raya terpaku di bawah tatapan lelaki jangkung, tegap, dan tampan itu. Tetapi kemudian, pandangannya bergerak turun dan berhenti pada kemeja berwarna senada dengan gaunnya yang membungkus badan lelaki itu yang kekar. Gadis itu melongo, matanya berkedip beberapa kali.
"Tadi, kamu bilang apa?" tanya Raya setelah tersadar dari keterpakuannya. Ia teringat perkataan terakhir lelaki itu yang menggelitik telinganya.
Lelaki di hadapannya tersenyum tipis, tetapi cukup untuk menampakkan lesung di kedua pipinya. Sebelah tangannya terangkat, menunjuk kemejanya dan gaun Raya bergantian. "Berhubung kostum kita berdua salah, bagaimana kalau kita masuk bersama saja? Dari pada kamu---"
"Tidak!" potong Raya cepat. Terlalu cepat sampai membuat lelaki pemilik senyum manis itu mengernyitkan keningnya. Raya menjadi salah tingkah. "M-maksudku ... aku tidak cukup berani bergabung di pesta dan bertemu dengan pengantinnya, mereka akan berpikir aku tidak menghargai ... aku tidak pantas berada di sana," lirihnya terbata.
Sebenarnya Raya tidak lagi membicarakan soal gaunnya, tetapi dirinya yang memang tidak berani menghadapi pengantin, terutama pengantin pria. Ia merasa berada di sana bukanlah tempatnya.
Hening sesaat.
"Kalau begitu ..." Lelaki itu kembali bersuara, perlahan ia memegang tangan Raya, menautkan jemarinya dengan jemari gadis itu. "Yang kamu butuhkan adalah teman."
![](https://img.wattpad.com/cover/167464272-288-k133661.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Bukan Penggantimu
RomanceRaya tahu seseorang sedang mengawasi mereka, bahkan ketika Aryanka Dylan berlutut di hadapannya, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam saku jasnya. Arya membuka kotak beludru berwarna merah itu dan mengulurkannya pada Raya. "Radista Anggitya...