RAYA canggung. Ia menatap pintu rumah yang baru saja dibuka oleh Arya. Rumah berlantai dua yang sebagian besar materialnya berasal dari kayu, milik Arya, dan yang sejak saat ini akan menjadi tempat tinggalnya. Kakinya terasa berat melangkah ke dalam, seperti ada beban yang diikatkan di kedua kakinya.
"Ayo, masuk," ajak Arya. Ia juga belum masuk karena menunggu istrinya berjalan lebih dulu.
Raya tidak menjawab, hanya kakinya mulai menapaki lantai ruang tamu. Arya menyusul di belakangnya dengan sebelah tangannya menarik koper.
Setelah seminggu menghabiskan waktu di London, semalam keduanya pulang naik pesawat dan baru saja tiba di Jakarta. Seorang lelaki sepantaran Arya menjemput menggunakan mobil sedan yang biasa dikendarai Arya. Ketika ditanya, lelaki itu bernama Gio dan bekerja sebagai karyawan di restoran milik Arya. Raya kebingungan. Ia tidak pernah tahu kalau suaminya itu memiliki restoran. Ah, Arya memang sepertinya memiliki banyak hal yang tak diceritakan.
"Kamar kita ada di lantai atas, tapi kalau kamu mau mandi, pakai kamar mandi di dekat dapur dulu, ya. Rumah ini masih baru, beberapa bagian masih belum selesai dikerjakan," jelas Arya.
Kamar kita? Raya tertegun. Sejak malam pertama yang gagal itu, Arya tidak lagi tidur seranjang dengannya, entah lelaki itu tidur di mana. Yang jelas, Raya tahu Arya sedang menghindarinya. Namun, pernyataan Arya barusan sepertinya menandakan bahwa keduanya akan bermalam dalam kamar yang sama.
Raya tidak tahu harus bagaimana menjawab perkataan Arya, lalu mengangguk saja.
"Aku ke kamar duluan."
Raya naik tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua, tetapi berhenti ketika mendengar namanya dipanggil.
"Saya menyadari perasaanmu pada saya tidak pernah lebih dari teman. Saya yang terlalu cinta hingga memaksakan pernikahan, dengan harapan dapat menumbuhkan rasa yang sama pada hatimu." Arya menghela napas sesaat, kemudian melanjutkan, "Kita sudah menikah ... saya mohon padamu agar memperlakukan saya sebagaimana seorang istri kepada suaminya."
Memperlakukan Arya sebagai suami yang sesungguhnya? Apakah termasuk di dalamnya melayani Arya di ranjang? Mendadak tubuh Raya menegang. Wajahnya pucat.
Arya menyadari perubahan sikap Raya, lalu berkata, "Saya tidak akan menyentuhmu, kamu bisa tenang jika itu yang kamu takutkan. Kita tetap akan berbagi kamar dan tempat tidur, tapi saya janji tidak akan melakukan sesuatu yang lebih."
Tanpa sadar, satu helaan napas lega keluar dari mulut Raya. Tidak masalah baginya untuk satu kamar dan berbagi ranjang dengan Arya, yang terpenting dirinya masih diberi kesempatan untuk menyiapkan batin.
"Kecuali kamu yang meminta," ucap Arya tiba-tiba.
"Apa?"
"Ehm, saya memang mengatakan tidak akan menyentuhmu, tapi jika kamu sendiri yang meminta ... saya bersedia."
Melihat semu merah jambu di kedua pipi Raya, membuat Arya tak dapat menahan seringai jahilnya. Dengan cepat ia melangkahkan kakinya mendekati gadis itu yang mematung, lalu mendaratkan sebuah kecupan lembut di pipi Raya.
"Selamat datang di rumah, istriku," bisiknya tepat di depan telinga Raya.
***
Raya segera menutup pintu kamarnya dengan gerakan setengah membanting, lalu buru-buru menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Ia tidur meringkuk dan menuturkan selimut ke seluruh tubuhnya. Gadis itu tidak sedang menangisi nasibnya yang berakhir menikah dengan lelaki yang tidak dicintai, melainkan sedang berusaha meredam debaran jantungnya yang semakin tidak karuan setelah dicium Arya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Bukan Penggantimu
RomansaRaya tahu seseorang sedang mengawasi mereka, bahkan ketika Aryanka Dylan berlutut di hadapannya, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam saku jasnya. Arya membuka kotak beludru berwarna merah itu dan mengulurkannya pada Raya. "Radista Anggitya...