"Kamu jadi berangkat ke London hari ini?"
Arya mengerutkan dahi. Suara Raya di seberang terdengar lemah, seperti tak bertenaga. "Raya, kamu baik-baik saja, kan?"
"Emm, entahlah, Arya ... tapi, sepertinya aku tidak bisa mengantarmu ke bandara."
"Kamu sakit?"
Terdengar helaan napas panjang dari seberang. "Sepertinya begitu. Maaf ...."
"Kenapa meminta maaf, Raya. Tunggu sebentar, saya ke sana sekarang."
Setelah mengakhiri panggilan dengan salam, Arya segera meraih kunci mobilnya dan berlari menuju garasi. Sebenarnya kurang dari dua jam lagi, ia ada penerbangan ke London. Namun, ketika mendengar gadisnya sakit, ia tak dapat menahan diri untuk tidak menjenguknya.
Arya memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Selang lima belas menit kemudian, ia telah sampai di rumah Raya yang minimalis. Di depan, ia bertemu Siska yang sepertinya baru pulang dari belanja. Tampak seikat bayam mencuat keluar dari kantung plastik merah yang dibawanya.
"Assalamualaikum, Ibu." Arya mengucap salam dan mencium tangan Siska dengan takzim.
Sejak diberitahu tentang niat baik Arya yang ingin menikahi putrinya, Siska meminta Arya untuk memanggilnya ibu. Jangan ditanya betapa bahagia dirinya. Lelaki itu baik dan selalu dapat membuat Raya tersenyum. Siska akan sangat tenang jika menyerahkan putrinya pada lelaki itu.
"Waalaikumsalam. Katanya mau pergi, Nak, kenapa malah ke sini?" tanyanya bingung. Kemarin, selain datang untuk mengabarkan kabar bahagia itu, Arya juga berpamitan hendak ke London untuk menjemput kakek dan neneknya.
"Raya sakit ya, Bu? Saya datang untuk menjenguk?" Kekhawatiran tercetak jelas pada muka Arya.
"Iya, sepertinya demam. Badannya agak panas dan terus mengeluh pusing."
"Saya boleh melihatnya?"
"Iya, boleh. Langsung ke kamarnya saja, ibu mau siapkan sarapan dulu."
Arya menatap ragu pada pintu kamar Raya yang bergeming. Sebelum ini, ia belum pernah masuk ke kamar perempuan. Namun, jika ingin bertemu Raya, ia harus masuk. Tidak mungkin meminta gadis itu yang keluar sementara kondisinya sedang sakit.
***
Arya memberanikan diri untuk mengetuk pintu di hadapannya. Sekali, dua kali, dan sampai ketiga kalinya masih belum ada jawaban dari dalam. Sudah dipanggil pun tidak ada sahutan. Akhirnya, Arya membuka pintu kamar Raya yang ternyata tidak dikunci. Arya melangkah masuk dengan tetap membiarkan pintunya terbuka lebar.
Raya tidur telentang di atas tempat tidur. Hembusan napasnya terdengar memburu, tubuhnya pun tampak gemetar. Pelan-pelan Arya menarik kursi dan duduk di samping Raya yang terlelap.
Sudut hati lelaki itu terasa ngilu melihat gadis yang dicintainya terbaring lemah seperti itu. Tangannya perlahan terangkat untuk menyentuh kening Raya. Panas. Mata lentik itu tiba-tiba terbuka, menampakkan manik hitam di dalamnya. Arya terperanjat dan langsung menarik tangannya.
"Saya membangunkanmu, ya?" ucapnya merasa bersalah. Ia sebenarnya tidak bermaksud mengganggu istirahat Raya.
Raya mengerjapkan matanya. "Arya, kamu di sini? Tidak jadi pergi?"
"Mana mungkin saya meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini?"
Raya berusaha untuk duduk, tetapi kepalanya terasa berat. Entahlah, kemarin ia masih baik-baik saja. Namun, pagi ini ia terbangun dengan suhu tubuh meninggi dan kepala yang terasa pening.
![](https://img.wattpad.com/cover/167464272-288-k133661.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Bukan Penggantimu
RomanceRaya tahu seseorang sedang mengawasi mereka, bahkan ketika Aryanka Dylan berlutut di hadapannya, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam saku jasnya. Arya membuka kotak beludru berwarna merah itu dan mengulurkannya pada Raya. "Radista Anggitya...