SUDAH akhir pekan. Beberapa menit lagi menjelang senja. Matahari mulai tenggelam ke peraduan, menyisakan semburat jingga yang bertebaran di angkasa. Raya mendesah frustrasi kala menyadari bahwa tumpukan baju dalam lemarinya itu, tak ada yang syar'i. Padahal ia berjanji untuk mengenakan hijab ketika menemani Arya ke acara reuni malam ini.
Dipandangnya sisi lemari yang lain, beberapa gaun pesta menggantung di sana. Dengan ragu ia memilah-milah deretan gaun tersebut, namun gerakannya terhenti kala mendengar ponselnya berdering. Raya segera meraih benda tersebut dari atas nakas. Dari Arya.
"Assalamualaikum," sapa Raya setelah menekan tombol answer.
Di seberang, Arya menjawab salam dan menanyakan apakah Raya sudah siap, karena ia akan datang menjemput. Raya salah tingkah sendiri, tetapi tidak mengatakan permasalahannya.
"Sudah shalat maghrib?" tanya Arya kemudian.
"Astagfirullah ...." Raya menepuk keningnya sendiri. Ia sampai lupa belum shalat karena sibuk mencari baju. "Aku shalat dulu ya, Arya. Acaranya jam berapa? Masih sempat, kan?"
"Iya, shalatlah dulu. Jangan terburu-buru."
Raya segera memutus sambungan dan terbirit-birit mengambil air wudhu. Lima menit kemudian Raya telah selesai. Ketika membalikkan badan hendak meletakkan mukena ke atas nakas, matanya menangkap sebuah kotak berwarna hitam di atas tempat tidurnya.
Mata gadis itu menyipit. Seingatnya, tadi kotak itu belum ada di sana. Didorong oleh rasa penasarannya, Raya mengambil kotak itu dan membukanya. Sebuah gamis pesta berwarna peach berbordir benang biru muda yang membentuk bunga di bagian pinggang dan ujung lengan, bertengger di dalam kotak dan masih terbungkus plastik.
Raya mengangkat bungkusan gamis itu dan menemukan secarik kertas.
Semoga ini bisa menyelesaikan permasalahanmu.
-A-
Seketika seulas senyum merekah di bibir Raya. A, sudah pasti Arya. Lelaki itu sungguh mengerti dirinya dan selalu tahu bagaimana menyelesaikan masalahnya.
Raya bergegas mengenakan gamis pemberian Arya itu, memadukannya dengan kerudung berwarna biru yang diberikan oleh orang yang sama. Kemudian menatap pantulan dirinya di cermin. Sosok yang dilihatnya masih sama, itu adalah dirinya, tetapi aura yang terasa sungguh berbeda. Terselip rasa nyaman yang menghangatkan, yang selama ini tak pernah dirasakannya.
***
Arya tersenyum, lalu menatap ke arah jendela kamar yang menampakkan seorang gadis. Sebelah tangan gadis itu memegang ponsel yang diletakkan di depan telinga, dan tangan yang lain sibuk mencari-cari ke dalam almari.
Saat ini Arya tengah berdiri di halaman depan rumah Raya, bersandar di badan mobilnya sambil memegang ponsel yang masih tersambung dengan gadis itu. Ia sengaja tak memberitahukan keberadaannya karena tak ingin membuat Raya kelimpungan.
"Aku shalat dulu ya, Arya. Acaranya jam berapa? Masih sempat, kan?"
Arya melirik arloji yang melingkar pada pergelangan tangannya. Hampir pukul tujuh. Acara sebenarnya dimulai pukul setengah tujuh, tapi ia memang ingin datang terlambat. Mungkin sekitar pukul delapan, sekalian shalat isya terlebih dulu.
"Iya, shalatlah dulu. Jangan terburu-buru," jawab Arya. Kemudian sambungan diputus dari seberang.
Arya berjalan menuju pintu rumah Raya dengan membawa kotak hitam di tangannya. Ia sengaja menyiapkan sebuah gamis untuk dikenakan Raya malam ini. Entah dugaannya benar atau tidak, Arya merasa gadis itu akan membutuhkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Bukan Penggantimu
Roman d'amourRaya tahu seseorang sedang mengawasi mereka, bahkan ketika Aryanka Dylan berlutut di hadapannya, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam saku jasnya. Arya membuka kotak beludru berwarna merah itu dan mengulurkannya pada Raya. "Radista Anggitya...