PERISTIWA mengerikan itu sudah setahun berlalu. Raya mengalami syok yang cukup hebat akibat kehilangan bayi dalam kandungannya. Bayangan-bayangan penuh tekanan yang menakutkan dan menyedihkan terus bermunculan, terkadang menyelinap melalui mimpi-mimpi kelam. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyembuhkan trauma yang terus menghantuinya, termasuk menjalani terapi.
Sejak kejadian itu Arya menjadi sangat protektif terhadap Raya. Ia nyaris tidak pernah meninggalkan istrinya sendirian. Urusan restoran ia percayakan pada pegawainya dan hanya sesekali berkunjung untuk mengecek. Ia menyadari kecelakaan yang dialami Raya merupakan kelalaiannya. Arya menyesal, sungguh, dan tidak pernah seharipun ia lewatkan tanpa menyalahkan dirinya sendiri.
Satu tahun yang tidak mudah, tetapi Arya dan Raya berhasil melewatinya walau masih belum ada tanda-tanda akan kembali diberikan kepercayaan seorang anak.
***
Usai menyiapkan makan siang dan membersihkan rumah, Raya mengistirahatkan tubuhnya di sofa ruang tengah sambil menyalakan televisi. Sebagian besar yang ditayangkan adalah acara-acara gosip yang tidak terlalu disukainya sehingga berniat menekan tombol off. Namun kemudian wajah seseorang yang tidak asing muncul di layar kaca, membuatnya tanpa sadar mengeraskan volume suara.
"... Rencananya pernikahan super mewah dan megah pewaris tunggal Fabian Group akan diselenggarakan bulan depan di pulau dewata Bali ...."
Raya tersenyum mendengar pemberitaan tersebut. Entah kapan terakhir kali ia bertemu Rian Fabiansyah. Seingatnya lelaki itu dulu selalu memasang wajah frustrasi dan penuh kesedihan, tetapi yang dilihatnya sekarang sungguh berbeda. Rian Fabiansyah yang sedang dikerumuni puluhan wartawan itu terlihat bahagia dan bangga saat mengumumkan rencana pernikahannya.
"Kamu terlihat bahagia, Sayang." Sebuah suara bariton menyapa Raya dari belakang. Seketika Raya menoleh dan menemukan wajah tampan suaminya.
"Sudah pulang?"
Arya mengangguk. Lalu menghempaskan tubuhnya di sofa di samping istrinya.
"Kukira akan sampai malam." Raya melirik jam di dinding, belum genap sejam sejak adzan zuhur dikumandangkan.
"Kau tahu Raya, saya tidak benar-benar bisa meninggalkanmu," jawab Arya dengan nada merenung.
Raya dapat melihatnya, kilat penyesalan dalam mata Arya. Rupanya suaminya itu masih menyalahkan dirinya sendiri atas kecelakaan setahun lalu.
Tidak dapat Raya pungkiri bahwa peristiwa itu banyak menorehkan luka dalam hatinya. Rasa sakit ketika merasakan terjangan sepeda motor yang melaju kencang ke arahnya dan kesedihan akan kehilangan bayi yang bahkan belum dilahirkannya. Ditambah ia harus melaluinya tanpa Arya di sisinya. Suaminya itu baru tiba di rumah sakit empat jam setelah operasinya selesai dilakukan. Namun tidak pernah sekalipun ia menyalahkan Arya. Demi apapun kecelakaan itu menyakiti Arya lebih dari dirinya sendiri. Perasaan bersalah dan kehilangan telah menciptakan luka menganga dalam hati Arya.
"Aku baik-baik saja, Arya ... sungguh." Raya menggenggam jemari Arya. Arya membalasnya dengan genggaman lembut. Seolah saling bertukar kekuatan untuk terus bertahan. "Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri, kumohon."
Arya menggelengkan kepalanya, lalu mengalihkan pandangan, tidak sanggup melihat kesedihan istrinya. Hatinya hancur. Ia tahu dirinya bersalah tetapi tidak bisa melakukan apapun untuk menebus kesalahannya.
"Sampai kapan kamu akan seperti ini, Ya? Sampai kapan?" Raya menahan tangis. Rasanya sudah tidak sanggup lagi melihat suaminya terus menyalahkan dirinya sendiri atas kecelakaan yang bahkan di luar kuasanya. "Apa selamanya kamu akan menghindariku? Kau sudah berjanji akan selalu di sisiku, kan?"
"Saya tidak pernah menghindarimu, Raya. Saya---"
"Kamu bahkan tidak pernah bertahan menatapku lebih dari satu menit," sela Raya cepat. Setitik air yang tak mampu lagi dibendungnya perlahan mencelos dari sudut mata. "Dan apa-apaan tatapanmu ini? Di mana Arya yang selalu menatapku penuh cinta? Di mana mata yang selalu memberikan kehangatan? Di mana, Arya? Dimana?"
Raya menghapus air matanya dengan kasar. Tangannya menghempas jemari Arya dan berdiri dengan tatapan nyalang. "Selama setahun ini kamu memang selalu menemaniku. Tidak pernah kulewatkan waktu berdukaku tanpa bersandar pada bahumu ... tapi ...."
Raya tiba-tiba terdiam. Bibirnya terasa berat untuk mengatakan beban yang selama ini dipikulnya. Beban yang bahkan tidak diketahui Arya karena lelaki itu terlalu sibuk dengan dunia penyesalannya.
"Kamu berubah, Arya. Aku tidak lagi merasakan ketulusan cintamu. Selama satu tahun ini aku hanya hidup ... hidup berteman rasa bersalahmu."
Raya sudah tidak tahan lagi. Hatinya terasa sakit mengingat masa-masa yang dihabiskannya dengan berteman rasa bersalah suaminya. Masa-masa yang bahkan jauh lebih menyakitkan dibanding rasa sakit itu sendiri.
Raya tiba-tiba lari. Meninggalkan Arya yang membeku dengan tatapan nanar. Selama ini dirinya terlalu sibuk dengan sakit di hatinya akibat rasa bersalahannya, menciptakan sebuah dunia baru penuh kekelaman. Tanpa tahu dunia itu telah memberikan jarak antara dirinya dan istrinya.
***
Arya membuka pintu kamar, perlahan. Hatinya berdenyut kala melihat istrinya meringkuk di atas tempat tidur dengan bahu berguncang.
Pelan-pelan Arya mendekat dan duduk di sisi ranjang. Sebelah tangannya kemudian membelai puncak kepala Raya yang terbungkus hijab.
"Maa---"
"Cukup! Aku sudah bosan mendengar permintaan maafmu yang tiada habisnya itu."
Arya menghela napas. Kemudian berjongkok tepat di hadapan Raya yang merapatkan mata.
"Saya mencintaimu, Raya," ucap Arya putus asa. Ia benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa. "Walaupun kamu berkata sudah tidak merasakan ketulusan cinta saya lagi, tapi percayalah ... hati dan cinta saya adalah milikmu."
Raya masih diam. Bibirnya terkatup rapat.
"Melihatmu selalu menangis dan terbangun tengah malam karena mimpi-mimpi buruk itu, membuat saya terluka, Raya. Saya bahkan teringat dengan janji yang pernah saya ucapkan kepada almarhumah ibu, bahwa saya akan melindungimu dengan nyawa saya. Tapi ... tapi karena kelalaian saya, bayi kita kehilangan nyawa bahkan sebelum dilahirkan dan kamu ... kamu menderita."
Raya membuka matanya. Untuk sepersekian detik ia terkejut melihat air mata yang mengalir deras dari mata suaminya. Rasa bersalah itu memang nyata adanya, tetapi dapat berakibat fatal karena berlebihan.
"Arya, aku memang sedih karena kehilangan anak kita, aku memang ketakutan karena rasa sakit yang tak tertahankan. Tapi seperti yang kamu lihat, aku mampu untuk bertahan. Aku bisa tersenyum dan terus melanjutkan hidupku. Apa kamu tahu karena apa?"
"Ka...rena apa?" Suara Arya nyaris tak terdengar.
Raya tersenyum. "Karena aku memilikimu, Arya. Kamu adalah alasanku untuk tetap menjadi kuat."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Bukan Penggantimu
RomanceRaya tahu seseorang sedang mengawasi mereka, bahkan ketika Aryanka Dylan berlutut di hadapannya, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam saku jasnya. Arya membuka kotak beludru berwarna merah itu dan mengulurkannya pada Raya. "Radista Anggitya...