RUMAH sepi. Di setiap ruangannya hanya berisikan udara kehampaan. Canda dan tawa yang biasa terdengar digantikan bunyi nyaring dari ranting pohon yang mengetuk-ngetuk kaca jendela karena tertiup angin. Kehangatan yang selalu menyelimuti mendadak beku oleh perasaan rindu yang entah kapan terobati.
Sudah seminggu sejak Arya keluar kota dan Raya masih belum bisa menemukan semangatnya. Hari-harinya yang penuh kebahagiaan seolah runtuh tanpa kehadiran suaminya.
Setiap pagi selepas shalat shubuh selalu menyiapkan sarapan dan meletakkan dua piring di meja makan, lalu menangis karena menyadari kebodohannya.
"Lagi-lagi aku menyiapkan dua porsi makanan." Raya mendengus frustrasi dan terduduk lemas di kursi. Disekanya bulir air mata yang menyembul di pelupuk. Sungguh, ia sangat merindukan suaminya dan setiap kali memasak selalu menyiapkan dua porsi dengan harapan saat ia selesai memasak, suaminya sudah duduk di kursi menantinya untuk makan bersama.
Pada akhirnya wanita hamil itu kembali menyantap dua porsi makanannya sendiri dengan bertemankan air mata sepi.
***
"Padahal dia bilang tidak ingin jauh-jauh dariku, akan terus menemaniku, dan bayi dalam kandunganku. Tapi sudah seminggu masih belum ada kabar akan pulang, hihhh!"
Raya terus menggerutu sembari menyendokkan ice cream vanilla ke dalam mulutnya. Bajunya yang berwarna tosca beberapa kali kejatuhan lelehan ice cream, tetapi tidak dipedulikannya. Matanya menatap tajam pada kalender di ruang tengah dengan masih menggumamkan kemarahan pada Arya.
Sebenarnya Raya tidak benar-benar marah, ia hanya sangat rindu tetapi tidak bisa melakukan apa pun, kecuali menunggu.
Pelan-pelan telinga Raya mendengar ketukan di pintu depan. Seketika bibirnya mengulas senyum lebar dan tanpa menunggu lama segera ke depan untuk membukakan pintu.
Begitu pintu dibuka, mulut wanita itu nyaris meneriakkan nama suaminya, tetapi bungkam kala matanya menangkap sosok lain.
"Tan-tante Mia ...." Suara Raya tercekat. Perlahan ia menelan ludah demi membasahi tenggorokannya yang mendadak kering.
Mia adalah sosok yang sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Raya akan datang ke rumahnya. Wanita paruh baya itu bukanlah seseorang yang akan membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak penting. Kedatangannya saat ini pasti ada maksud tertentu.
"Si-silakan masuk, Tante." Raya mempersilakan walau tidak yakin akan mendapat respon yang baik. Namun di luar perkiraan, Mia melangkah masuk dan duduk di sofa ruang tamu dengan sikap bersahabat. Sama sekali tidak menunjukkan sikap arogan.
"Mau saya buatkan minum, Tante?"
"Tidak perlu, saya tidak akan lama," jawab Mia tenang.
Sepasang mata Mia menyapu seisi rumah bergaya minimalis itu, lalu berhenti pada Raya yang berdiri dengan pandangan seperti orang kebingungan.
"Kamu duduklah," kata Mia dengan nada lembut yang sepertinya dipaksakan.
Raya menurut dan duduk di sofa di seberang Mia. Gerakannya begitu pelan dan hati-hati karena perutnya yang buncit sedikit menyulitkannya. Mia memperhatikan perut Raya dan dalam benaknya menebak-nebak usia kandungan itu.
"Bagaimana kabarmu, Raya?"
Mata Raya membelalak, seolah tidak percaya dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan Mia. Pertanyaan itu mungkin terdengar biasa saja, tetapi tentu berbeda jika Mia yang menanyakannya. Keduanya memiliki riwayat hubungan yang tidak baik, rasanya aneh jika Mia berbasa-basi seperti itu.
"Tante Mia ada perlu apa kemari? Jika ingin bertemu Arya, dia sedang tidak ada di rumah."
Raya memilih mengabaikan basa-basi Mia karena merasa tidak terbiasa. Mia pun sepertinya tidak ambil pusing.
"Tidak, saya tidak mencari Arya. Saya tahu dia sedang keluar kota." Mia terdiam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, "Saya ke sini karena ada perlu sama kamu."
Hening. Cukup lama. Mia masih menatap Raya dengan pandangan yang sulit diartikan. Sementara Raya masih menunggu maksud dan tujuan wanita paruh baya itu datang menemuinya.
"Maaf."
Satu kata yang keluar dari mulut Mia itu, entah apa tujuannya dan untuk siapa diucapkan. Raya masih diam karena tidak mengerti.
"Saya minta maaf karena pernah memisahkan kamu dengan Rian."
Mia menatap dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Tiba-tiba ia menghampiri Raya dan bersimpuh di hadapannya. Tangannya yang bergetar mencoba meraih tangan Raya ke dalam genggamannya.
"Tante ... apa yang Tante lakukan?"
Raya berusaha meraih tubuh Mia agar berdiri. Entah roh apa yang sudah merasuki wanita arogan itu hingga tiba-tiba berlutut di hadapannya. Yang jelas, itu bukan sandiwara.
***
"Tante Mia? Kenapa Tante Mia ke rumah? Apa dia cari masalah lagi sama Bunda?"
Suara Arya di seberang terdengar khawatir. Ia sebenarnya sudah ingin cepat-cepat pulang agar bisa menjaga istrinya, tetapi restoran cabang sedang dalam masa krisis. Pegawai yang dipercaya untuk mengelola, melakukan korupsi dengan jumlah yang tidak sedikit. Ada kemungkinan restoran cabang akan ditutup untuk sementara demi menstabilkan kondisi keuangan.
"Tidak, Yah, jangan suudzon dulu."
Raya berjalan perlahan keluar pasar tradisional tidak jauh dari rumah. Sebelah tangannya menggenggam ponsel yang ditempelkan di depan telinga, dan tangan lainnya mengayun-ayunkan kantung plastik berisi belanjaan.
Begitu Mia pulang, Raya bergegas ke pasar untuk membeli keperluan dapur. Namun sebenarnya itu dilakukannya untuk mencari kesibukan, dengan begitu ia bisa melupakan perkataan Mia yang mengusik pikirannya.
"Tante Mia datang untuk meminta maaf," kata Raya sembari menyeberangi jalan yang mulai lengang.
***
Arya memberi isyarat pada pegawainya untuk meninggalkan ruangannya, lalu kembali fokus pada benda berbentuk kotak yang digenggamnya. Bibirnya tersenyum mendengar celoteh manja sang istri yang sangat dirindukannya.
Raut wajah Arya berubah serius ketika Raya menceritakan kedatangan Mia ke rumah. Wanita paruh baya itu selalu menyakiti hati istrinya setiap kali bertemu dan itu membuatnya khawatir.
"Hah? Bunda serius?" tanya Arya tak percaya ketika Raya mengatakan Mia datang untuk meminta maaf.
Selama mengenal keluarga Fabiansyah, Arya belum pernah mendapati seorang Mia Fabiansyah meminta maaf. Ia curiga ada maksud tersembunyi di balik permintaan maaf itu.
"Serius, Yah. Mungkin Tante Mia sudah berubah---"
Ucapan Raya mendadak terhenti. Kening Arya berkerut karena yang terdengar dari seberang berubah menjadi suara gaduh.
"Bun, ada apa?"
Panggilan masih tersambung, tetapi tidak ada jawaban dari Raya. Arya mulai gelisah, perasaannya tidak karuan. Suara-suara gaduh dari seberang seperti menyayat hatinya.
"Bunda, jawab ayah, Bun!" Suara Arya meninggi. "Bunda kenapa?"
"Halo?" Sebuah suara asing terdengar, suara pria.
"Ya, halo, ini siapa? Di mana istri saya?" tanya Arya panik.
Dari seberang kembali terjadi kegaduhan. Arya menanti dengan tidak sabar. Ia nyaris membanting ponsel dalam genggamannya sebelum sebuah suara kembali terdengar, kali ini suara wanita.
"Istri Anda mengalami kecelakaan, Pak, diserempet motor waktu mau menyeberang. Sekarang sudah dibawa ambulan menuju rumah sakit ...."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Bukan Penggantimu
RomanceRaya tahu seseorang sedang mengawasi mereka, bahkan ketika Aryanka Dylan berlutut di hadapannya, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam saku jasnya. Arya membuka kotak beludru berwarna merah itu dan mengulurkannya pada Raya. "Radista Anggitya...