"Bagaimana keadaannya sekarang?" Arya merasa cemas sekali. Begitu mendapat kabar dari Liana kalau Raya jatuh pingsan, ia segera memacu mobilnya sekencang mungkin menuju rumah sakit yang baru saja disebutkan oleh Rian dalam telepon.
"Belum sadar." Suara Rian terdengar berat.
Arya memperkuat genggaman pada setir, demi menahan sesak di dadanya, lalu semakin mempercepat laju kendaraannya setelah menutup panggilan.
Butuh waktu sekitar dua jam perjalanan bagi Arya untuk sampai di rumah sakit tempat Raya dirawat. Ia langsung berlari menuju kamar rawat yang disebutkan Rian tadi.
Ia masuk ke kamar Raya, kosong, tidak ada siapa pun di sana, tempat tidurnya pun rapi, seperti tidak pernah ada yang tidur di atasnya. Kedua alis Arya bertatut, ia yakin tidak salah masuk kamar, tetapi orang yang sedang dicarinya tidak ada.
"Suster," Arya menghentikan seorang perawat wanita yang lewat di depan kamar itu. "Pasien bernama Radista Anggitiya yang dirawat di kamar ini, di mana? Kenapa kamarnya kosong?"
Perawat berparas cantik itu tampak berpikir. "Sebentar, ya," katanya, lalu menghampiri perawat berbadan gempal yang baru saja keluar dari kamar tidak jauh dari kamar rawat Raya.
Arya memperhatikan kedua perawat itu yang entah sedang membicarakan apa, sampai akhirnya keduanya berjalan menuju dirinya yang menunggu.
"Nona Radista sudah pulang, Tuan," kata perawat berbadan gempal itu.
"Pulang? Bukankah tadi belum sadar?" Begitulah yang Rian sampaikan di telepon tadi.
"Sudah sadar, Tuan, dan Nona Radista sendiri yang meminta untuk pulang. Mungkin sekarang masih di tempat administrasi."
Setelah mengucapkan terima kasih pada kedua perawat tadi, Arya langsung berlari menuju bagian administrasi, dengan harapan dapat bertemu dengan Raya. Lelaki itu tidak akan tenang sebelum melihat dengan matanya sendiri bahwa Raya baik-baik saja.
***
Bagian Administrasi lengang, mungkin karena mendekati tengah malam. Hanya ada petugas administrasi, beberapa orang yang duduk di kursi tunggu, sepertinya keluarga pasien, dan dua suster yang tengah asyik bercengkerama di depan meja administrasi.
Arya menghampiri salah satu petugas administrasi dan bertanya tentang pasien bernama Radista Anggitya.
"Baru saja keluar dari pintu lobi, mungkin masih di depan, Tuan," jawab petugas administrasi itu dalam senyum.
"Baiklah, terima kasih."
Dan benar, Arya dapat melihat melalui dinding kaca lobi, Raya bersama wanita separuh baya tengah duduk di bangku depan rumah sakit. Arya tersenyum. Dadanya terasa lebih ringan. Ia segera berjalan mendekat.
"Raya," panggilnya ketika sudah berdiri di dekat Raya. Yang dipanggil segera menoleh dan terkejut.
"Arya? Kamu ngapain di sini?" tanya Raya begitu lelaki itu sudah berdiri tepat dihadapannya, napasnya terengah-engah dan keringat membasahi wajahnya.
"Liana bilang kamu pingsan, bagaimana keadaanmu?" tanyanya seraya mengamati wajah gadis itu yang pucat.
Kening Raya berkerut. "Liana? Dari mana Liana tahu kalau aku pingsan?" Raya segera menoleh pada Siska yang sedari tadi tampak memperhatikan Arya. Siska mengenal lelaki itu sebagai pengantar undangan pernikahan Rian dulu, hanya itu, tapi sekarang hatinya merasa ada sesuatu yang lain.
"Ibu?" panggilan Raya membuyarkan lamunan Siska. "Siapa yang mengantar Raya ke rumah sakit? Liana?"
"Bukan. Tadi Rian yang bawa Raya ke rumah sakit," jawab Siska.
![](https://img.wattpad.com/cover/167464272-288-k133661.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Bukan Penggantimu
Roman d'amourRaya tahu seseorang sedang mengawasi mereka, bahkan ketika Aryanka Dylan berlutut di hadapannya, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam saku jasnya. Arya membuka kotak beludru berwarna merah itu dan mengulurkannya pada Raya. "Radista Anggitya...