TAMAN belakang sekolah sepi. Ingar bingar acara reuni tak sampai ke tempat itu yang hanya diberi pencahayaan remang-remang. Dengan hati-hati Raya berjalan di atas jalan setapak yang licin. Di sisi kiri dan kanannya banyak ditumbuhi bunga sepatu yang menjulang, membatasi jarak pandang.
Sejujurnya, Raya tak suka kegelapan. Berjalan di tempat yang asing dan minim pencahayaan seperti ini membuatnya tak tenang. Namun, ia harus menemukan Arya dan memastikan lelaki itu dalam keadaan yang baik-baik saja.
Telinga gadis itu menangkap suara seperti dedaunan kering yang diinjak dari arah belakang. Namun ketika dilihat, tidak ada siapa-siapa.
"Aryaaa!" Raya akhirnya berteriak, tak lagi sanggup menahan ketakutannya.
Dari sudut mata, Raya seperti melihat seseorang berdiri di belakang gazebo taman. Ia hampir mengira itu Arya, sampai ia mendengar panggilan dari arah yang berlainan.
"Raya, di sebelah sini!" Suara Arya.
Buru-buru Raya mendekati sumber suara dan menemukan lelaki itu duduk di bangku taman di depan kolam. Arya terlihat baik-baik saja, tidak seperti seseorang yang sedang sesak napas.
"Kamu ... baik-baik saja, Arya?" tanya Raya ragu. Tadi ia sungguh panik ketika dikabari Arya tiba-tiba sesak napas, tetapi sekarang ia melihat lelaki itu seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Apakah dirinya sedang dikerjai? Jika benar, ini sungguh tidak lucu.
Arya memasang muka datar dan menepuk sisi bangku di sebelahnya yang kosong. "Maaf ... duduklah." Suaranya tertahan di tenggorokan, hampir tak terdengar.
Rentetan kalimat bernada amarah sudah berputar-putar di kepala Raya, siap untuk disemburkan kepada lelaki di hadapannya. Namun, ketika mendengar nada suara Arya yang lemah, semuanya berhamburan begitu saja. Tanpa membantah, Raya duduk di sebelah Arya.
"Kenapa berbohong?" tanya Raya.
"Entahlah, saya hanya tidak tahu harus mengatakan apa ...." Pandangan Arya lurus ke depan, menatap cahaya rembulan yang terperangkap di kolam.
Raya tertawa kecil. "Kenapa bisa tidak tahu?" Ia kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku. "Ah, aku dikerjai. Mau marah, tapi tak bisa."
"Kenapa tidak bisa?"
"Entahlah."
Kemudian hening, cukup lama. Keduanya disibukkan dengan pikirannya masing-masing. Raya meraih ponsel dari dalam tasnya dan melihat jam yang tertera di layar. Sudah pukul sepuluh malam. Ia harus pulang. Ibunya pasti sudah menunggu di rumah.
"Sudah malam ... Arya, ayo pulang," katanya seraya beranjak, tetapi lengannya ditahan oleh Arya.
Ketika membalikkan badan, Raya melihat lelaki itu seperti mengeluarkan kotak kecil dari saku jasnya dengan tangan kanan, sementara tangan kiri masih menahan lengannya.
"Radista Anggitiya ...." Arya menarik napas. Perlahan berlutut di hadapan Raya dan melepas tangannya yang menahan lengan gadis itu, demi membuka kotak beludru yang dipegangnya. Matanya menatap penuh kesungguhan dan berkata, "Maukah kamu menikah dengan saya?"
***
"Maukah kamu menikah dengan saya?"
Raya seperti disambar petir pada malam hari yang cerah itu, kala mendengar kalimat bermakna lamaran yang keluar dari mulut Arya. Matanya dengan terkejut menatap lelaki yang kini berlutut di hadapannya, dengan sebelah tangan mengulurkan sebuah kotak berisi cincin permata berwarna biru.
Menikah dengan Arya? Hal semacam itu belum pernah terpikirkan oleh Raya. Perasaannya kepada lelaki itu hanya sebatas sayang kepada teman. Jujur saja, bahkan sampai detik ini, hatinya masih bertaut pada Rian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Bukan Penggantimu
Lãng mạnRaya tahu seseorang sedang mengawasi mereka, bahkan ketika Aryanka Dylan berlutut di hadapannya, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam saku jasnya. Arya membuka kotak beludru berwarna merah itu dan mengulurkannya pada Raya. "Radista Anggitya...