SORE sudah beranjak. Malam menjelang membawa rintik gerimis dan awan hitam yang bergulung menutupi sinar bulan. Gelap. Cahaya yang ada hanya kilatan petir yang menyambar-nyambar, menciptakan bayangan hitam benda yang dilaluinya untuk kemudian kembali menghilang.
Di taman, di bawah pohon Akasia yang rimbun dan berbunga lebat, Raya masih duduk menyandarkan punggungnya pada bangku taman. Kepala perempuan itu mendongak membiarkan tetesan air membasahi kulit wajahnya yang sekuning langsat. Mata lentiknya menerawang, pikirannya tidak menentu membuatnya gundah. Dan sekejap kemudian ingatan Raya melayang jauh, pada waktu beberapa minggu yang lalu....
"Assalamualaikum ..." terdengar suara seseorang di seberang, lembut tetapi tegas. "Raya ...."
"Waalaikumsalam, Rian!" pekik Raya senang. Dengan cepat Raya mengubah posisinya yang semula tidur menjadi duduk tegak.
Rian Fabiansyah. Lelaki tampan yang telah menjadi kekasih Raya sejak empat tahun yang lalu. Lelaki yang juga merupakan anak tunggal dari pemilik Fabian Group, perusahaan yang bergerak dalam bidang konstruksi, tempat Raya bekerja sebagai staff keuangan.
Rian adalah lelaki yang baik, tentu saja. Ditambah dengan parasnya yang rupawan menjadikan Raya gadis paling beruntung karena bisa memiliki lelaki itu, mengeliminasi banyaknya gadis yang telah ditolak mentah-mentah oleh Rian.
Rian Fabiansyah jelas sangat mencintai Raya. Lelaki itu hampir selalu ada untuk Raya, membantunya pada masa-masa sulit dan melengkapi hari-hari bahagia. Tiada satu hari pun mereka lewatkan tanpa kebersamaan.
Tetapi sudah seminggu, Rian menjadi susah dihubungi, di kantor pun tidak ada. Nomor telepon, akun jejaring sosial, bahkan email dinonaktifkan. Lelaki itu seperti ditelan bumi. Raya bingung. Biasanya sesibuk apa pun lelaki itu akan menyempatkan diri untuk mengabari Raya walau hanya sebaris pesan singkat.
Kali ini, ketika akhirnya lelaki itu kembali menyuarakan keberadaannya, Raya tidak akan diam.
"Rian, dari mana saja kamu satu minggu ini? Kenapa tidak ke kantor? Kenapa nomormu tidak aktif? Kenapa---"
"Raya dengarkan aku," potong Rian cepat. Raya terdiam meskipun batinnya memberontak.
"Apakah kamu sudah menerima surat mutasimu?"
Surat mutasi? Ya, Raya baru ingat, pagi tadi ia menerima surat pemindahan tugas dirinya ke kantor cabang yang berada di luar kota. Seolah tidak cukup menghilangnya Rian secara tiba-tiba yang menciptakan jarak tidak kasat mata di antara mereka, perusahaan malah memutasi Raya ke kantor cabang yang jaraknya hampir memakan waktu sehari semalam perjalanan. Dan anehnya, belum ada alasan yang jelas atas keputusan yang mendadak itu.
"Jadi ... kamu tahu, Rian? Kamu akan membantuku, kan? Aku tidak akan dimutasi, kan?" Mata Raya berbinar memohon, meskipun Rian tidak dapat melihatnya. "Aku tidak akan sanggup jauh darimu, Rian."
"Tidak, Raya ... aku tidak akan membantumu."
"Apa?"
"Aku tidak akan membantumu," ulang Rian. "Terimalah mutasimu dan pergi jauh dari sini."
Raya tertegun. Ia hampir tidak mempercayai pendengarannya sendiri. Rian memintanya untuk pergi? Tapi, kenapa?
"Pergi?" Raya masih belum mengerti. Kepala cantiknya tidak sanggup menerjemahkan kata demi kata yang diucapkan Rian.
"Akan sulit bagi kita jika harus bertemu setiap hari, Raya. Karena itu terimalah mutasimu. Perusahaan sudah menyiapkan posisi yang bagus untukmu dan gajinya juga lumayan, dan---"
"Intinya apa yang ingin kamu katakan, Rian? Jangan membuatku bingung ...." Dada Raya mendadak perih seolah ada sesuatu yang tajam mengintai, siap untuk menyakiti.
"Raya, kamu gadis yang baik. Dan gadis yang baik adalah untuk laki-laki yang baik." Rian menarik napas sejenak, lalu melanjutkan, "Dan ... sepertinya, aku bukan laki-laki yang beruntung itu."
Hening sejenak. Raya menunggu dengan hati gusar. Seolah mengetahui kalimat yang akan diucapkan lelaki itu selanjutnya tidak akan mampu diterima hatinya.
"Raya ... kita putus."
Setelah mengatakan dua kata terkutuk itu, Rian memutuskan sambungan telepon. Meninggalkan Raya yang diam terpaku. Pandangannya kosong, titik air mendesak di pelupuk matanya memaksa untuk dimuntahkan. Bahkan seluruh tubuhnya gemetaran, dan benar saja, ponsel dalam genggaman Raya terlepas jatuh ke atas lantai.
Sungguh, Raya tidak tahu apa kesalahannya sehingga ia pantas mendapatkan perlakuan seperti itu. Dicampakkan.
Raya tidak mampu lagi menahan air matanya, isakannya menggema dalam kamarnya yang temaram. Sakit, perih, kecewa dan entah apa nama rasa yang sanggup menggambarkan perasaannya. Empat tahun ia menjaga hubungannya dengan Rian dan demi apa pun bukan ini yang Raya inginkan.
Hatinya patah. Bukan lagi berupa satu atau dua retakan, melainkan keping yang berhamburan.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/167464272-288-k133661.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Bukan Penggantimu
RomanceRaya tahu seseorang sedang mengawasi mereka, bahkan ketika Aryanka Dylan berlutut di hadapannya, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam saku jasnya. Arya membuka kotak beludru berwarna merah itu dan mengulurkannya pada Raya. "Radista Anggitya...