KIRANA'S POV
“Ce, aku cinta banget sama cece. Mau nggak cece jadi pacarku?” Edo berteriak sehingga satu ruangan mendengarnya. Tak sampai sedetik, ruangan sudah gaduh dengan suara-suara suitan dan ‘perintah’ untuk menerima. Mengapa harus di tengah ruangan BEM sih, belum lagi semua anggota sedang berkumpul di sini untuk persiapan besok.
“Bisa nggak kita bicara di luar, Do?” aku langsung berjalan keluar ruangan, kemudian dia mengikutiku dari belakang. Meskipun di luar, aku tau kuping dan mata teman-teman di ruangan masih mengikuti kami.
“Jadi gimana, ce?” Tanyanya setelah berhenti di depanku.
“Aku nggak bisa jadi pacarmu. Maaf, Do. tapi aku nggak ada feeling apa-apa” Aku menjawab jujur. Mukanya yang tadi ceria langsung berubah seperi habis mendengar berita duka.
“Karena aku junior ya, ce?” Dia terlihat memaksa dirinya untuk bertanya. Aku berteriak dalam hati, tiga tahun lebih muda dari rata-rata temanku, dua tahun lebih muda dari dia, apa akan pengaruh dia junior apa bukan? Tetap saja aku lebih muda dari pada dia intinya.
“Nggak, cuma cinta nggak bisa dipaksa hadir.” Aku menjawab santai.
“Cece pacaran sama ko Stevan?” Dia seperti menanyakan pertanyaan semua orang. Belum terkumpul kata yang mau kusampaikan, Stevan sudah berlari dari lorong arah aula.
“Kalian ngapain di sini? Ayo masuk, kita mulai rapat persiapan besok” dengan santainya Stevan menggiring kami berdua masuk ke dalam ruang BEM. Edo sudah masuk duluan dengan tampang anak kecil yang tidak dibelikan boneka, ketika Stevan membisiki aku.
“Menolak untukku ya?” Tanpa perlu jawabanku, dia langsung melangkah masuk. Ruangan BEM terlihat tidak normal, seperti firasatku tadi, semuanya pasti habis menguping.
Stevan memang pernah menyatakan cintanya, tapi dari hari pertama melihat dia dengan BMW pink-nya aku sudah ilfeel lebih dulu. Bukan aku melihat dari penampilannya saja, tapi matanya yang seperti kembang api saat bertemu perempuan mengenakan rok mini itu juga yang buat aku merasa tidak senang dengannya.
Gosip aku berpacaran dengan Stevan memang sudah lama, sejak awal kepengurusan. Hal itu gara-gara keanehan bagaimana aku yang seorang pendiam bisa diberi jabatan GM divisi media.
Jujur saja, aku sama sekali tidak ingin jabatan di kepengurusan Stevan. Senior-seniorlah yang memaksaku menerima permintaan Stevan, dan Stevan sendiri pastinya sudah terlebih dahulu konsultasi dengan senior lainnya. Saat aku bertanya mengapa harus aku--pada senior, mereka berkata pekerjaanku yang paling bagus dari seluruh anggota divisi, sayang jika aku tidak melanjutkan. Mengikuti organisasi ini sebenarnya hanya jalan paling mudah untuk memenuhi poin kegiatan untuk bisa lulus. Aku memang suka menghabiskan waktuku di bidang media, alasan utamanya adalah pekerjaannya menempatkanku dibelakang layar, tidak harus bertemu dengan orang. Bagiku media itu seperti jembatan, menghubungkan seluruh aspek dan menyalurkan dari internal ke eksternal begitu pula sebaliknya. Wajah suatu organisasi itu ujung tombaknya adalah media, contohnya saja, perusahaan seperti coca cola tanpa mengiklankan produknya apa bisa dia mendunia?
Semua itu lah yang membuatku sekarang tersangkut di sini, menjadi salah satu petinggi BEM FEB. Menjadi GM ternyata tidak susah seperti bayanganku. Aku mampu mengontrol anggotaku dengan baik, memberi pujian atau ‘hadiah’ ketika mereka bekerja dengan baik dan memberi evaluasi ketika terdapat kekurangan. Cara seperti ini terbukti efektif, divisi media jauh bekerja lebih baik dibandingkan dengan divisi lain. Seperti malam ini, divisiku sudah bisa pulang lebih cepat. Persiapan kami sudah selesai dari siang tadi.Seminar hari ini akan diadakan pukul sembilan, registrasi mulai pukul delapan dan panitia harus datang pukul tujuh. Ketika aku sampai di kampus, wajah-wajah mengantuk mulai sibuk menyiapkan ruang aula. Aku mencoba mencari angggotaku, mengumpulkan mereka untuk briefing hari ini. Sepuluh orang anggotaku aku bagi menjadi lima kelompok. Yang pertama untuk mengurus keperluan pers yang kami undang, yang kedua untuk update media sosial dan live streaming, yang ketiga untuk keperluan power point dan video untuk materi seminar, yang keempat untuk fotografi dan yang kelima untuk jurnalistik.
Ketika peserta seminar datang, aku dan teman-teman GM harus membeli permintaan mendadak pemateri untuk simulasi. Sungguh menyebalkan, tidak tahu apa Jakarta itu macetnya bagaimana. Peralatannya memang tidak banyak jenisnya, tapi kami harus membeli sebanyak peserta yang hadir, yaitu sekitar 250 orang. Setelah seluruh permintaan dari pemateri bisa kami beli, kami masih harus memotong-motong dan menempelkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Magic In You
RomanceSejak mata ini pertama kali melihatmu, kamu berhasil menyita perhatianku. Kala itu, kalau kamu masih ingat, kamu menggunakan sepatu nike, yang seperti kamu tau adalah brand sepatu favoritku. Mungkin, campur tangan Tuhan pula, malam itu mobilmu mogok...