KIRANA’S POV
Khata dan Ara berjalan mendekatiku, meninggalkan seorang laki-laki yang berdiri di belakang bersama kumpulan mahasiswa paduan suara yang sedang ‘ngamen’. Laki-laki berkulit gelap dan memiliki suara alto yang membuat mereka khusus datang ke Kuta sini adalah teman renang mereka berdua. Dia mengundang mereka berdua untuk membantu mencari dana agar tim paduan suara universitasnya bisa pergi berlomba ke luar negeri dan sekaligus sedikit bernostalgia dengan mereka.
Beberapa menit yang lalu, aku bisa kembali mendengar suara gesekan biola yang Khata mainkan dengan lembut dan suara Ara yang sungguh menarik perhatian banyak orang. Bukan, Ara bukan penyanyi yang mengagumkan, justru sebaliknya. Ara benar-benar tidak bisa menyanyi, nada yang ia nyanyikan berlari jauh dari yang seharusnya, tapi justru itulah yang membuat banyak orang memberi donasi mereka. Orang-orang mengira Ara melakukannya dengan sengaja, membuat mereka tertawa mendengar bahasa Inggris celemotan dan nada-nada cempreng yang dia lantunkan.
Sekitar satu jam kami mengelilingi Kuta, bernyanyi bersama grup paduan suara mahasiswa itu. Aku sudah menolak habis-habisan, tidak nyaman bertemu orang-orang baru dan langsung masuk ke lingkungan mereka. Khata meyakinkanku untuk ikut, memandangku dengan matanya yang begitu bersemangat. Pipiku sudah mulai menghangat, tidak mampu menerima pandangan matanya itu. Dan sebelum Ara melihatku dan membuatnya berpikir aku benar-benar menyukai Khata, aku mengiyakan dengan berat hati.
Kami akan melanjutkan untuk makan siang yang mungkin bisa dibilang terlambat di salah satu restaurant fastfood. Angin pantai menerpa kami sepoi-sepoi, membantu menikmati keramaian pantai di seberang jalan.
“Eh Ta, kamu pulang dari sini balik ke Surabaya apa Jakarta?” Ara bertanya pada Khata setelah menelan kunyahan makanannya.
“Ke Surabaya dulu aku, mungkin sehari dua hari baru balik ke Jakarta lagi.”
“Si Anka udah di Surabaya?” Aku segera menoleh pelan ke Ara mendengar nama itu. Ara kenal pacar Khata. Khata selalu tertutup mengenai orang itu entah kenapa, aku juga tidam bisa langsung tanya gitu aja sejak aku hanya mendengar namanya dari telpon-telpon Khata. Masa sih Khata pacaran sama orang yang udah punya pacar? Atau Anka itu om-om yang udah punya istri? Kenapa rahasia banget sih ahh! Pokoknya habis ini aku harus interogasi Ara.
Wait, aku tidak bisa bertanya pada Ara. Jika aku bertanya padanya, pasti nanti dia berpikir macam-macam lagi. Argghhhhh.
“Belum.” Khata membalas lemah, mencuri pandangannya padaku sebentar. Apa arti pandangan barusan? Dia tidak ingin aku mengetahui soal Anka? Ah, kenapa main rahasia sih!
“Ikut ke Surabaya yuk, Na.” Ara segera mengalihkan pembicaraanya padaku.
“Nggak bisa Ra, habis pulang, besoknya aku ada acara.”
“Ah, sibuk banget.”
“Acara apa, Na?” Khata meletakkan makanannya dan memandangku, membuat aku harus berpaling melihat pantai di depanku.
“Ada wawancara buat internship.”
“Woow, kok keren? Internship dimana kamu?” Ara kemudian ikut menoleh padaku.
“Itu soalnya masuk mata kuliah, kampusku wajib ada internship. Kemarin aku ditawarin dari pihak Oil and Gas International Company.” Khata sedikit terkejut dengan kalimat terakhir yang kuucapkan. Mungkin tanpa kesadarannya, badannya maju mendekat mengartikan ketertarikannya.
“Ditawarin, Na? Kok bisa? Seniorku bilang susah banget bisa tembus perusahaan itu, meski ada orang dalem yang bisa bantuin.”
“Iya emang susah, perusahaan itu tertutup banget. Dulu aku pernah bantuin proyeknya dosen di sana, terus waktu kena mata kuliah operational management aku ngambil perusahaan itu buat objek amatan. Mungkin karena itu mereka nawarin internship ke aku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Magic In You
RomanceSejak mata ini pertama kali melihatmu, kamu berhasil menyita perhatianku. Kala itu, kalau kamu masih ingat, kamu menggunakan sepatu nike, yang seperti kamu tau adalah brand sepatu favoritku. Mungkin, campur tangan Tuhan pula, malam itu mobilmu mogok...