3'RD PERSON POV
Khata terbangun seiring dengan bunyi alarm sholat subuhnya. Senyumnya seketika mengembang ketika panca indra kulit mulai aktif. Kebahagiaan yang tak pernah tersentuh selama ini, kini berada pada genggaman tangan itu. Matanya terpejam sebentar, meresapi seluruh bahagia pada momen ini.
Gerakan Khata untuk bangkit dari tempat tidur membangunkan tarikan. Sebuah tangan menggenggam erat, tepat ketika jemari Khata mulai membuka dan menyelip pergi. Genggaman itu tidak terlepas sedikit pun sedari kemarin saat Khata menutup mata. Kirana sama sekali tak mau melepasnya, bahkan dari festival.
Khata tidak tahu mengapa, gadis berusia delapan belas tahun ini tiba-tiba seperti layaknya anak kecil yang takut kehilangan permen kesukaannya. Memang dia berkali-kali bilang pada Khata tentang hampa yang hadir kembali karena Khata menghilang, tapi Khata tak pernah menyangka itu bisa mengubah dirinya yang pendiam itu menjadi sangat manja dan terus terang.
“Aku mau whudlu dulu, Na.”
“Emmm.” Dan dibarengi dengan tarikan tangan yang merupakan tanggapan untuk kepergian tiga meter Khata ke kamar mandi.
“Mau sholat subuh.” Awalnya tangan itu kaku, tak bergerak untuk melepas atau menarik lagi, tapi setelah ibu jari Khata mengelus-elus tangannya, akhirnya Kirana mau melepaskan genggaman itu. Khata segera beranjak dari tempat tidur, sebelum pikiran itu berubah dan menarik tangannya kembali seperti kejadian sebelum sholat isya kemarin malam.
Setelah menuntaskan sholat, masih dalam balutan mukenah, Khata menoleh ke tubuh yang terbaring di ujung tempat tidurnya. Pandangan mata sang pemilik tubuh dengan sayu mengawasi semenjak Khata keluar dari kamar mandi.
“Tidur lagi gih Na.” Kirana kemudian dengan lamban merentangkan tangannya ke arah Khata. Khata sudah tak heran, dia terus meminta tangan itu untuk bertautan dengannya. Ini pula lah sebab kenapa dia berujung kembali menginap di rumah Khata.
Setelah melipat mukenah beserta sajadah dan menaruhnya di meja, Khata mendorong tubuh Kirana agar bisa berbaring di sebelah dirinya. Tanpa Khata perlu bersusah payah, Kirana langsung memberi area untuk berbaring. Dan tak lama, kebahagiaan itu kembali tersambung.
Mata Khata mengamati kelopak mata yang menutup penuh mata indah gadis cantik itu. Mata yang pada hari kemarin tak berhentinya menangis hingga dia tertidur. Dimulai dari ruang kesehatan, saat Khata ingin meninggalkannya.
Khata tidak dapat mengelak, sentuhan kulit yang terjadi sungguh telah membawa kebahagiaan, dan ini bersifat begitu adiktif. Kirana sendiri merasakan, hatinya tak berhenti mencari kenyamanan dalam genggaman tangan itu, Hanya sebuah genggaman tangan, tapi ini lah yang dia butuhkan. Dia tidak mau lagi kehilangan warna hidupnya itu. Satu bulan saja. Tapi itu sudah lebih dari cukup merasakan seluruh perih dan hampa bersamaan. Baginya, dengan menggenggam tangan Khata, dia bisa sedikit memastikan sahabatnya itu tak akan lagi meninggalkannya. Seluruh lebam itu sudah hilang, tak lagi ada bekas dirinya pernah terkena amarah yang di luar kontrol sang punya. Pada awalnya, Kirana memang merasa keberatan akan tubuhnya yang luka itu, namun sedari awal pula, dia lebih mempertanyakan sikap Khata mengusirnya. Jauh lebih buruknya lagi, sikap diam Khata selama satu bulan.
Berada di dekat Khata, menyentuh tangannya selama ini menjadi mimpi-mimpi kecilnya pada malam hari. Dalam malam-malam itu pula, air mata seringkali menetes, sebuah hasil dengung dari sepi. Di ruang kesehatan itu, Kirana entah bagaimana merasa berani untuk mengungkapkan keinginannya, menyuarakan suara lebih banyak daripada yang pernah dia suarakan dalam hidupnya.
Mereka berdua diam dalam syahdu, tak ada kata dan gerakan. Ketenangan hidup yang saling mereka bagi untuk berdua.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Magic In You
RomanceSejak mata ini pertama kali melihatmu, kamu berhasil menyita perhatianku. Kala itu, kalau kamu masih ingat, kamu menggunakan sepatu nike, yang seperti kamu tau adalah brand sepatu favoritku. Mungkin, campur tangan Tuhan pula, malam itu mobilmu mogok...