39. Weekend

435 62 2
                                    

KHATA'S POV

Segenap organ tubuhku menginginkan hal yang sama. Kamu.

Inilah nafas yang keluar dari tubuh yang telah menerima sejuta jarum, dan akan menerima lebih banyak lagi. Kelopak mata yang telah menutup ribuan kali, hanya demi menampakkan gelap daripada dunia yang kejam. Dan segala getir yang tubuh ini rasakan, bermuara pada satu kolam dalam. Kolam yang hanya engkau yang dapat menyelaminya dan membuatnya tidak keruh lagi.

Bibir ini ingin mengucap sayang. Untukmu tahu rasa yang kurasa adalah nyata.

Bukan, hanya Tuhan yang memilikimu. Aku tak berhak mengatakan kamu milikku sampai kapan pun. Karena sampai detik kita bertemu untuk pertama kali, dan mungkin sampai kalimat perpisahan selanjutnya, dan semoga pelukan pelepas rindu, aku tak kuasa menjagamu. Hanya Tuhan yang mampu menjaga makhluk seindah dirimu.

Kirana Wijaya, aku menyayangimu. Aku sangat sangat menyayangimu, selayaknya Romeo jatuh cinta pada Juliet, selayaknya Lancelot cinta pada Guinevere, dan berbagai pasangan di mabuk asmara lainnya.

“Emm, Khata.”

Morning, beautiful.” Pipinya bersemu merah. Dia kembali menyembunyikan diri dalam pelukanku.

I really miss your smell.” Dia berkata tak kentara teredam bajuku.

“Aku juga.” Semenit kemudian, Kirana mengangkat kepalanya. Membuatku dapat melihat mata indahnya. Aku tersenyum kembali. Rasa cinta ini benar-benar nyata, hadir senada.

Kucium keningnya pelan. Kubisikkan arti dirinya untukku.

“Kirana, Im so lucky to know you. Kamu adalah pengecualian dari segala kecuali. Kamu adalah tapi dari segala keburukan. Kamu menjadikanku orang paling bahagia di dunia hanya dengan melihat senyummu yang manis itu.” Sekali lagi Kirana bersembunyi dalam pelukanku. Dia mencium pundakku, aku bisa merasakannya.

“Aku kangen banget sama kamu. Rasanya waktu berjalan lama kalo nggak ada kamu.”

“Sama. Kamu kayaknya yang bikin aku nggak sabar pulang. Mungkin kalo nggak ada kamu, aku masih di Kalimantan pelukan sama orang utan.”

“Jadi aku di samain sama orang utan sekarang?”

“Yah, masih sodara lah.”

“Ihhh, nyebelin!” Kirana hendak beranjak pergi namun aku mampu menahan tangannya dan memeluknya kembali.

“Jangan ngambek cantik, aku masih kangen. Nanti aja dulu ngambeknya.”

“Hmm. “

Aku terus  memeluknya erat. Harum tubuhnya memenuhi otakku. Bagaimana dia bisa begitu memabukkan?

“Naaaa, Ranaaa.” Suara Anka berteriak dari luar. Pintu kamarku kemudian terbuka, menampakkan tubuh jangkung adik laki-lakiku. Adik yang tampan, sangat tampan.

“Halo cakep, mbak Ta nggak di sapa?”

“Mau Nana. Rana.”

Aku melihata Kirana yang sudah lepas dari pelukanku berdiri kemudian menggandeng adikku. Mereka turun kemudian berjalan ke halaman belakang. Terkejutlah aku yang mengikuti mereka berdua. Halaman belakangku sudah penuh dengan kandang hewan!

“Kek, kakek, sejak kapan rumah kita jadi kebun binatang?” Aku berteriak pada kakek yang sedang minum kopi di depan TV.

“Kamu pergi kelamaan sih. Anka marah-marah terus, maunya sama kamu. Kamunya nggak ada. Yaudah akhirnya kakek turutin dia mau pelihara apa aja asal bisa tenang.”

“Loh? Tapi kan? Kakek sama nenek sepakat kalo Anka cuma boleh pelihara kelinci sama ikan aja?”

“Ya, sekarang dia kan udah lebih tua, sudah lebih baik daripada dulu. Dia bisa ambil tanggung jawab lebih, Khata.”

Magic In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang