“Pelecehan seksual.” Kata itu ia bisikkan dengan suara paling rendahnya yang terselip tangis. Luka yang ia hantarkan dalam suaranya langsung menembus relungku. Dadaku terasa begitu sesak menahan emosi yang bercampur di dalamnya. Sakit dan perih, aku belum pernah merasakan seperti ini lagi semenjak kematian kedua kakakku.
Khata menangis kembali dalam dadaku. Rintik hujan pelan di luar sedikit menyembunyikan tangis itu. Tangisan yang juga menyayat-nyayat hati ini. Bibirku terasa lengket, tak tahu harus berkata apa. Hanya air mata yang bebas mengalir keluar begitu saja dari kedua mataku. Aku mengelus pelan punggungnya, benar-benar tak berdaya untuk dapat menghiburnya.
“Perih, Na..” Dia berkata sangat lirih. “Pria itu sudah mengambil semuanya.” Imbuhnya dalam emosi yang tertanam di kalimatnya.
“Hei, ada aku, kakek dan nenekmu, Anka. Kamu masih memiliki cinta yang menjagamu.” Aku memandang lekat-lekat matanya dalam. Mata itu sungguh mengisyaratkan luka batin yang menganga lebar. Pelupuknya menutup jendela jiwanya. Air mata terus berkucur keluar. Bibirnya kembali bergerak, mengeluarkan hasil getaran yang bersatu membuat alunan kata dengan makna yang lebih perih.
“Dia sudah membunuh orang tuaku. Dan diriku malam itu telah terkoyak habis. Perih ini selama lebih dari satu dekade selalu menggerogotiku dari dalam. Perih yang tidak hanya berada di bawah sana, tapi juga dalam batin yang tak tergapai.” Aku membeku. Mengalami pelecehan seksual sudah merupakan hal yang sangat berat, mengalami kehilangan orang tua di waktu yang bersamaan, sungguh aku tak bisa lagi membayangkan bagaimana Khata masih mampu berdiri dan hidup hingga sekarang. Dan satu dekade? Oh Tuhan, dia masih kecil. Pria mana yang sungguh tega.
Aku menutup mataku. Mengambil nafas dalam, memberikan jeda pada diriku sendiri untuk menelan kenyataan perih orang yang aku cintai. Tidak ada satu pun orang yang akan menyangka Khata-ku tersayang memiliki masa lalu seperti itu. Kata-kata pun hilang dalam rasa perih ini. Aku menempelkan kening ku di keningnya, memeluk erat dirinya dalam dekapku yang lemah.
“Aku merasa kotor, Na. Merasa jijik dengan tubuhku ini.” perkataannya tersela oleh isaknya. Dia menangis seperti anak kecil kembali. Sesenggukan hingga nafas pun sulit.
“Kamu tidak kotor.” Aku berkata lembut padanya sembari mengelus kedua pipinya, menghapus lelehan air mata yang terus mengalir. Keningnya kucium kembali, kemudian ku dekap tubuhnya itu.
“Aku tak pernah berani bilang pada siapapun, aku sangat takut bagaimana orang memandangku. Aku sangat kotor. Sangat menjijikkan.”
“Khata, jangan rendahkan dirimu. Tubuhmu indah dan kamu memiliki jiwa yang tak dapat disandingkan dengan siapa pun. Kamu selalu berusaha memberikan yang terbaik, senyummu selalu membuat banyak orang tenang, kamu cerdas dan sangat baik. Karaktermu lah yang menentukan siapa dirimu.”
“Kamu salah, Na. Hidupku ini, diriku ini, seluruhnya tak ada artinya. Seluruhnya itu demi Anka. Aku selalu berusaha untuk Anka. Hidupku ini bergerak untuk Anka. Sebelum kejadian itu, Ayah selalu bilang padaku untuk menjadi pelindung Anka, untuk menjadi seorang kakak yang mengutamakan adiknya. Ayah juga bilang, suatu hari aku akan menjadi orang sukses, maka berperilaku lah selayaknya calon orang sukses. Seperti pangeran yang harus berperilaku layaknya anak raja. Maka, itu lah yang kulakukan.” Dia mengambil nafas panjang setelah menahannya karena berbicara.
“Dan kamu tumbuh tepat seperti apa yang Ayahmu inginkan. Itu sangat mengagumkan Khata. Aku yakin, menangani apa yang kamu rasakan sendiri tidak gampang, banyak orang menjadi sangat depresi, dan terkadang kemudian tumbuh tersesat dalam hiruk dosa dunia.”
“Aku berjuang sekuat tenaga, Na. Benar katamu, sungguh segalanya tidak mudah. Hingga terkadang rasanya aku ingin menghilang dari seluruh beban yang merantaiku. Kadang aku sangat menginginkan kehidupan normal. Bermanja dengan orang tua, bermain dengan adik yang tidak akan memukulku sewaktu-waktu, menjadi anak-anak yang bermain di depan halaman rumah, menjadi remaja yang pergi ke mall menghabiskan duit orang tua. Aku hanya bisa melihat teman-temanku bermain dari jauh. Ketika mereka semua tertidur, aku terjaga di malam hari, memberikan waktu tidurku pada lembaran-lembaran kertas yang berisi pengetahuan yang jauh berada di luar nalar anak seusiaku. Aku tidak pernah memberikan waktu untukku menjadi rapuh. Tak pernah pula aku tampakkan kerapuhan itu. Tapi rasanya semakin lama lelah memakanku hidup hidup. Hujan dan petir setiap waktu mengawalku memasuki jurang yang selalu berada di depanku. Sungguh, rasanya semakin berat setiap kali untuk mendaki kembali.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Magic In You
RomanceSejak mata ini pertama kali melihatmu, kamu berhasil menyita perhatianku. Kala itu, kalau kamu masih ingat, kamu menggunakan sepatu nike, yang seperti kamu tau adalah brand sepatu favoritku. Mungkin, campur tangan Tuhan pula, malam itu mobilmu mogok...