KIRANA'S POV
“Serius kamu belum pernah pacaran?” Khata menoleh padaku dengan campuran muka terkejut dan sedikit tawa keluar dari mulutnya. Aku membalasnya dengan gelengan kepala, menjawab ketidak percayaannya itu.
“Kamu udah pacaran berapa kali?” Aku sedikit mengejeknya tersenyum, bangga dengan prestasi nol mantan.
“Sekali, waktu SMA dulu.”
“Ceritain keek.”
“Apanya?”
“Ya kamu kok bisa pacaran sama dia, namanya sapa, kayak apa, terus kenapa kok putus”
“Ih, mau tau aja!” Jemarinya masih sibuk mengetik di ponselnya sedari tadi, dengan sedikit mencuri pandang pada layarnya. Aku memanjangkan leherku melihat tepat di depan wajahnya, kemudian memberinya senyuman. Akhirnya dia menyerah, menatapku balik dengan tampang oke-gue-nyerah.
Khata kemudian menarik kepalanya ke belakang dengan muka sedikit memerah. “Dia kakak kelasku waktu SMA, tapi kita sama-sama satu klub renang dari kecil, sama-sama sering lomba bareng, sama-sama ikut pemusatan latihan juga. Bisa dibilang temen deket lah. Tapi waktu SMP aku berenti renang, jadi ya kontak sama dia sudah nggak intens lagi, paling cuma tanya kabar gitu. Begitu ketemu lagi di SMA ya deket lagi akhirnya. Anaknya emang seru banget, bisa diajak gila-gilaan, nggak jaim jadi kalo sama dia bawaanya pasti fun. Terus tiba-tiba aja dia bilang dia cinta sama aku pengen jadi pacarku. Nah, aku nganggep dia itu kayak kakak aja, nggak ada rasa yang lebih, dan dengan jujur aku bilang ke dia aku lebih nyaman dengan interaksi kita sehari-hari. Tapi, dia bilang dia tetep pengen aku jadi pacarnya, dan janji nggak ada yang bakal berubah. Yaudah, akhirnya aku jadi pacarnya.”
“Terus kenapa putus?”
“Nggak lama habis itu aku keterima exchange setahun di Inggris. Meski LDR, hubungan kita baik selama setahun itu. Justru waktu aku pulang malah akhirnya jarang komunikasi, dan dia ngerasa selama kita pacaran aku nggak ngasih perhatian ke dia sebagaimana seseorang ke pacarnya. Yaudah terus putus akhirnya.”
“Tapi selama pacaran kamu ada rasa lebih nggak ke dia?”
“Jujur aja, enggak.”
“Kalo cowokmu yang sekarang, kamu sayang nggak sama dia?” Aku bertanya spontan, mengingat telponnya ketika seminar dulu. Tatapan matanya yang sedari tadi fokus pada layar ponselnya langsung menatapku.
“Ha?” ponselnya berdering, membuat kami menghentikan percakapan kami. Dia melihat layar ponselnya dan kemudian langsung berdiri dari tempat tidur. “Sori Na, aku angkat telpon dulu” Kemudian ia berjalan keluar kamarku, sehingga aku tidak bisa mendengar percakapan telponya.
Ini sudah ke empat kalinya dalam dua jam terakhir telponnya berbunyi. Tangannya juga tak bisa berhenti mengetik di ponselnya. Kurang dari lima menit dia sudah kembali dan berjalan ke tempat tidur, mencari area yang tadi dia duduki di sampingku.
“Kamu sibuk banget.”
“Lagi ada masalah di BEM. Sejam lagi aku ada rapat, Na. Aku pulang ya?” Mukanya menampakkan kelelahan semakin dalam, meski dia masih berbicara dan tertawa ceria.
“Iya. Kamu nggak mau makan dulu? Apa kamu bawa aja deh.” Rasanya sungguh enggan membiarkannya pergi, aku masih ingin dia di sini. Masih ingin mengetahui banyak tentangnya.
“Nggak usah, Na. Kamu jangan lupa makan biar cepet sembuh. Besok kamu udah kuliah?” Dia berdiri di depan kaca yang tergantung di kamar mandi, merapikan rambut dan bajunya yang acak-acakan.
“Nggak ada kuliah besok. Kamu mau... ehh.. Aku pengen ehm...” Aku ingin bisa menghabiskan waktu esok bersama dengannya. Rasanya sangat menyenangkan ada dia di sekitarku. Khata seperti menyebarkan aura menyenangkan setiap dekat dengannya. Aku ingin ia kemari besok. Tapi bagaimana aku mengatakan padanya? Rasanya sangat egois meminta dia bersamaku sedangkan aku tau benar dia sangat sibuk. Mungkin aku harus melupakan keinginan konyolku itu. “Nggak jadi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Magic In You
RomanceSejak mata ini pertama kali melihatmu, kamu berhasil menyita perhatianku. Kala itu, kalau kamu masih ingat, kamu menggunakan sepatu nike, yang seperti kamu tau adalah brand sepatu favoritku. Mungkin, campur tangan Tuhan pula, malam itu mobilmu mogok...