KHATA’s POV
Akhirnya hujan rintik selama dua jam terakhir berhenti juga. Setelah dua minggu yang lalu aku sidang tugas akhir, dan telah selesai pula revisi yang harus kuperbaiki, kini aku selalu berada di townhouse ini. Rasanya sangat aneh terbiasa hampir dua puluh empat jam sibuk, kini aku punya waktu untuk bisa lari pagi, berenang, yoga, berkuda, memasak, nonton tv dan tidur. Yah, mungkin bagi kebanyakan orang itu adalah hal biasa, namun untukku, itu seperti daftar keinginan yang jauh dari kenyataan.
“Non, tolong ambilkan mericanya.” Bibi menunjuk botol bertutup hitam di rak rempah-rempah.
“Ini, Bi.” Aku menyerahkan botol tersebut ke bibi.
“Nanti non ikut jemput non Kirana lagi nggak?” Aku berfikir sejenak, yah memang aku tak ada kegiaan lain. Paling hanya membaca buku atau main piano di ruang perpustakaan.
“Iya dong, Bi. Bibi nanti malem pulang aja gapapa. Kan ada aku yang nemenin Kirana.” Bibi sedari tadi siang terlihat tidak terlalu sehat. Terkadang aku memang kasihan dengan bibi, beliau menemani Kirana setiap malam, sehingga terkadang meninggalkan anaknya hanya dengan suaminya. Dari cerita Kirana, tak jarang bibi yang sedang sakit pun tetap menjaga dan menemani Kirana.
“Aduh non, nanti kalo butuh apa-apa gimana?” Bibi berkata sambil menggerakkan fry pan meratakan saus carbonara.
“Kan ada aku sih, Bi. Nggak percaya sama aku nih?” Aku terus menekan batangan panjang spaghetti ke dalam air mendidih.
“Hmm, bukan nggak percaya neng. Kan udah tugas bibi sama suami bibi untuk jagain neng Kirana.” Bibi mematikan kompor, memindahkan saus tersebut ke dalam mangkok kaca.
“Bibi, bibi itu sudah menjaga Kirana dari kecil, apa salahnya bibi istirahat semalem aja?” Aku tersenyum ke arahnya. Akhirnya bibi mengangguk setuju padaku.
“Oke, selesai.” Aku mematikan kompor setelah memastikan spagheti telah benar-benar matang. Bibi kemudian mengambil alih untuk membersihkan kompor dan merapikan masakan kita berdua.
Aku berlari ke dalam kamar Kirana, mengambil baju yang sudah kupindahkan ke lemari milik perempuan manis itu. Dia sengaja mengosongkan sedikit area di lemari bajunya untuk baju-bajuku. Sejak melepas tanggung jawab dan kewajiban di Depok, aku dan Kirana sepakat untuk aku pindah sementara ke sini. Bila ada urusan juga kemana-mana aku lebih mudah dari kawasan Ampera ini.
Aku mandi sekitar lima belas menit, keluar sudah lengkap dengan celana jeans yang aku lipat hingga tiga perempat dan kemeja putih polos. Bahkan aku sudah tak ingat kapan bisa berpakaian se santai ini bila tidak sedang liburan. Setelah menyisir rambutku yang sekarang sudah sepanjang pinggang itu, aku keluar rumah, menyapa Pak Purno. Pak Purno sudah siap dengan mesin mobil menyala.
Dari sini hingga tempat Kirana bekerja membutuhkan waktu sekitar satu jam. Aku tahu setiap hari dia pulang dalam keadaan lelah. Dia sempat berfikir untuk menyewa apartemen daerah kantornya, tapi pada akhirnya dirasa itu bukan solusi. Bila dia di rumah, ada bibi yang akan selalu menyediakan makan malam dan sarapan. Pak Purno pun siap mengantar kemana pun sehingga Kirana tak perlu lelah menyetir. Yah, setidaknya beruntunglah Kirana mendapatkan fasilitas yang dibandingkan para fresh graduate lain tidak miliki. Dengan uang bulanan ayahnya yang dua kali gaji miliknya itu Kirana sebenarnya mampu untuk makan, belanja dan menghamburkan semua uangnya tanpa perlu berfikir akan kehabisan. Toh bila habis pun dia tinggal minta ke bundanya atau ayahnya lagi. Namun justru itulah yang menurutku membuat Kirana spesial. Dia tidak pernah meminta uang tambahan, pergi ke mall hanya untuk membeli barang yang dirasa perlu, bahkan untuk membeli sesuatu dia masih melihat sebandingkah uang yang ia keluarkan dengan fungsi barang tersebut. Uang yang ia miliki itu malah ia masukkan ke asuransi pendidikan untuk dua anak bibinya dan asuransi kesehatan mereka sekeluarga. Kirana hanya mau memastikan keluarga kecil yang menjaganya selama ini itu selalu terjamin.
Pukul empat lewat lima belas menit akhirnya mobil ini sampai juga di depan kantornya. Kirana sudah menunggu di lobby. Segera setelah mobil di depan lobby, Kirana masuk ke dalam mobil. Lelah di mukanya terlihat sedikit terangkat ketika sudah duduk dengan nyaman di sebelahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Magic In You
RomanceSejak mata ini pertama kali melihatmu, kamu berhasil menyita perhatianku. Kala itu, kalau kamu masih ingat, kamu menggunakan sepatu nike, yang seperti kamu tau adalah brand sepatu favoritku. Mungkin, campur tangan Tuhan pula, malam itu mobilmu mogok...